“Dia gadis yang luar biasa, kak. Dia gadis yang tak pernah kutemui dari gadis-gadis lainnya. Ia begitu istimewa. Setelah ditinggal kawin oleh Putri, sepertinya dialah yang luar biasa dalam hidupku,” cerita Farel padaku. Aku mengangguk-angguk mendengarkannya.
Sampai sekarang aku
belum tahu siapa gadis yang dimaksud itu. Farel selalu bercerita bahwa ia
begitu istimewa. Mungkin setiap perempuan akan merasa kesal jika terus-terusan
mendengar cerita Farel. Tapi sebagai sahabat, kakak bagi Farel, aku tetap harus
mendengarkannya. Aku harus menjadi sosok kakak yang baik juga. Bagi Farel dan
bagi yang lainnya.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Satu kepercayaan jika ia
bercerita padaku. Aku bahagia, satu sisi. Sisi lain mengapa aku merasa benci
sekali pada perempuan yang dimaksud itu. Padahal aku sama sekali tak
mengenalnya. Namun dari ceritanya, aku ragu gadis itu akan menjadi pendamping
hidup Farel, seperti yang ia harapkan. Impiannya semu belaka.
“Kakak tahu? Dia itu
punya kepribadian dan talenta luar biasa. Jarang gadis lain memilikinya. Dia
satu-satunya yang aku temui. Luar biasa...”, wajahnya berseri. Dua lesung pipi
di wajah baby-nya terlihat indah, seindah wajahnya sore itu. Aku kembali
mengangguk, tentu dengan tetap tersenyum.
Kata-kata seperti itu,
dengan kalimat yang sama, ekspresi yang sama sudah berulang kali aku dengar
dari mulut Farel. Sepertinya kepribadian perempuan itu membuatnya bahagia.
Talenta yang dimilikinya suatu kebanggaan bagi Farel luar biasa gadis itu jika
tahu apa yang terjadi.
Hanya satu hal
keherananku. Dia tak berubah, Farel maksudku. Sama sekali ia tak mengubah
penampilannya. Masih sembarangan tanpa peduli kalau ia sedang jatuh cinta. Berbeda
dengan orang-orang jatuh cinta lainnya. Ia lebih terlihat jorok. Bajunya masih
kaos oblong yang dipakai empat hari lalu, celana kedodorannya juga sudah dua
minggu dipakai. Kulit hitamnya tak semata-mata karena dibakar matahari. Tapi
juga karena ia malas membersihkan diri. Bagaimana perempuan bisa betah
dengannya? Firasatku mengatakan kalau dia akan tersakiti lagi.
Sebelumnya pernah
disakiti oleh seorang gadis juga. Dikhianati lebih tepatnya. Farel jatuh cinta
kepadanya dengan sepenuh hati. Bersaing dengan beberapa teman bukan masalah
buatnya, teman-teman lebih memilih menyerah dari pada bersaing mendapatkan
gadis itu. Bukan karena bersaing dengan Farel, tapi gadis itu sama sekali tak
menarik dan tak ada istimewanya.
Demi mendapatkan Putri,
ia rela berubah. Sesuai dengan syarat yang diajukan oleh Putri memang. Mereka
pacaran tak lama, hanya dua bulan. Diam-diam selama pacaran dengan Farel, Putri
telah bertunangan dengan seorang lelaki lain. Masih terhitung dekat dengan Farel.
Farel lebih tak menyangka karena ia dijadikan pelarian oleh Putri. Tak hanya
itu, tunangan Putri menyembunyikan hubungan mereka pada Farel. Sehari sebelum
undangan itu datang ke tangan Farel, mereka masih jalan-jalan berdua. Bahkan
Putri tak pernah menyampaikan sepatah katapun pada Farel.
Sejak kejadian itu,
Farel tak pernah jatuh cinta lagi pada perempuan mana pun. Ia tak mau mengenal
perempuan lebih jauh. Ia kembali berubah hancur-hancuran seperti sedia kala.
“Dia manis sekali, kak.
Dia selalu terlihat ceria di manapun, kapanpun. Aku benar-benar menyuakainya,
kak. Kalau tak melihatnya, aku yakin kakak juga akan menyukainya.” Ujarnya
yakin.
“Aku harap kamu tidak
patah hati lagi dengan pilihanmu kali ini, Rel” Ucapku mengingatkan.
“Kak Eka tenang saja. Dia
bukan Putri, kak. Dia tak akan mengkhianatiku lagi. Kalaupun ia, mungkin itu
sudah takdirku. Tapi aku yakin tak kan gagal untuk kedua kalinya, kak.”
“Kakak harap begitu,
Rel. Tapi siapa sih gadis itu? Kamu cerita terus sama aku, namanya aja kamu
nggak sebutin siapa?”
“Hahahaha...” Ia tertawa
lebar.
“Kenapa ketawa? Kamu ini
ditanya nama kok malah ketawa,” aku mulai kesal.
“Kak Eka sepertinya
penasaran sekali ya sama gadis itu?”
“Ya, iyalah.... Tahu
cerita, harus tahu tokohnya dong. Masa
setengah-setengah. Siapa? Kalau kamu nggak bilang namanya, aku nggak akan
dengar lagi cerita kamu yang terus kamu ulang-ulang itu.”
“Namanya..... hihiih...
malu, kak.” Tingkah laku kekanakannya muncul. “Namanya.....Windy”, akhirnya
dengan malu-malu sebuah nama meluncur dari mulutnya.
Aku hanya tersenyum
mananggapi nama yang ia sebut. Windy, nama yang bagus. Sebagus gambaran Farel
tentang gadis itu. Mudah-mudahan ia benar-benar menemukan cinta sejatinya. Aku
yakin, Windy bukan Putri.
Namun ada sesuatu yang
mengganjal hatiku begitu tiba di rumah. Sepertinya nama itu pernah aku dengar
sebelumnya. Sering disebut. Ya, sepertinya ia memang gadis istimewa. Karena
hampir semua adik-adikku itu membicarakan Windy. Aku jadi penasaran dengan
gadis itu. Aku harus mencari cara agar bisa bertemu dengannya.
Dua hari berbincang
dengan semua adik-adik asuhku, aku tahu banyak tentang Windy. Informasi yang
aku kumpulkan cukup membuatku puas.
Kurang lebih penggambarannya sama dengan apa yang dilukiskan oleh Farel.
Dari mereka pula aku
tahu siapa lelaki lain yang tengah dekat dengan Windy. Dari gelagat yang
kubaca, aku yakin Farel akan kembali kecewa. Sikap Windy juga menunjukkan kalau
ia lebih cenderung memberi harapan kepada Riyan. Mereka bersahabat, jadi bukan
tak mungkin kejadian yang sama akan terulang. Aku tak mau Farel kembali kecewa.
Tapi di sisi lain dukungan untuk Riyan juga terbilang lebih kuat. Hampir semua
inginkan Riyan segera jadian dengan Windy. Sisi lain aku tak ingin Farel
kecewa, namun satu sisi aku mau Riyan juga mendapat belahan jiwanya. Entah
kenapa, aku yakin kalau Riyan bisa bersama gadis itu, mereka akan bahagia dan
Riyan merubah gaya hidupnya.
Pada dasarnya gaya hdiup
Riyan dan Farel tak jauh beda. Keduanya sama-sama urakan dan kurang mengurus
diri. Namun ada hal yang membedakan antara Farel dan Riyan. Mereka tak sama
dalam merebut perhatian perempuan. Riyan lebih berani di belakang, sementara di
depan gadis idamannya ia tak bisa apa-apa. Sementara Farel hanya memuji dan
berani menunjukkan, namun takut untuk mengungkapkan.
*
Hari ini aku langsung
bertemu dengan Windy. Farel telah mengaturnya. Suasana pertemuan ini tak enak,
Farel terbakar api cemburu luar biasa melihat kedekatan Riyan dengan Windy. Aku
juga melihat sesuatu yang beda dari pancaran mata Riyan. Ia begitu bahagia berada
di dekat Windy.
“Kak Eka, itu lho gadis
idamannya Riyan. Udah lama mereka dekat. Tapi Riyan juga belum ngungkapin
perasaannya pada Windy. Keburu di ambil orang, baru deh...” cerita salah
seorang adik didikku.
“Baru apa?”
“Baru sakit hati dia.
Aneh ya, kak. Riyan nggak bisa belajar dari pengalaman. Berapa kali coba dia
gagal terus dekatin cewek”
“Jadi? Riyan memang suka
sekali ya pada gadis itu? Namanya... Windy?”
“Iya kak, Windy. Kakak
temuin saja. Tanya perasaannya pada Riyan. Biar kita bisa urus semuanya. Lebih
cepat lebih baik kan?”
Aku mengangguk-angguk.
Kalau begini ceritanya mau bagaimana lagi. Aku harus berusaha bagaimana caranya
menemukan sesuatu dari mereka. Setidaknya aku tak melihat kekecewaan yang lebih
parah saat Windy bukan untuk Farel.
Setelah lama berbincang
dengan Windy, aku baru menemukan apa yang dimaksud oleh Farel. Luar biasa.
Kalau begini, jelas saja Farel tak bisa melepaskan Windy.
Dari perbincangan itu
pula aku tahu kalau Windy sudah cukup dekat dengan Riyan. Dari cara ia
berbicara dengan Riyan, ketika mendengar namanya disebut, ada getar-getar lain
memperindah irama kata-kata Windy. Penafsiranku.... Windy lebih memilih Riyan
dari pada Farel.
*
Pertemuanku dengan Windy
seminggu lalu ternyata membuat Farel penasaran. Sengaja aku tak menggubris panggilan telepon
Farel, tak membalas pesannya. Bahkan aku mencari celah untuk kabur bertemu
dengan Farel. Aku belum siap jujur pada Farel tentang anggapan dasar perasaan
windy.
Sekarang aku tak bisa
mengelak. Aku memang harus bertemu dengan Farel. Apapun resikonya, aku
selsaikan di meja warung kopi. Kalau tidak, maka aku yang akan menyesal dengan
keputusan mereka semua. Mereka yang terlibat cinta segitiga.
“Kak, akhirnya kita ketemu
lagi. Sombong sekali ya, tak menghubungi aku selama ini. Aku hubungi juga nggak
dipedulikan.” Komentar Farel kesal.
“Maaf, Rel. Aku sibuk
sedikit akhir-akhir ini.” Alasanku keluar tiba-tiba.
“Emmm..... tak masalah.
Aku cuma pengen tahu perkembangan bidadariku. Hehehehe....”, mulailah tingkah
kekanakannya. Muncul lagi kalau situasi begini. Wajar kalau perempuan mana pun
tak menaruh perhatian padanya.
“Sejak kapan kamu punya
bidadari, Rel?”
“Sejak bertemu Windy”,
gayanya genit. “ Kak, tolong ceritakan soal Windy padaku. Tepatnya setelah
kakak bertemu dengannya. Gimana kak? Kalau itu jadi istriku kelak, cocok
nggak?”, kali ini ia bersikap manja.
“Kalau aku bilang tidak
cocok gimana?” Pancingku.
“Ah, kak. Jangan
bercanda deh. Aku bukan sehari dua hari kenal Eka. Kakakku yang manis ini.”
“Iya. Kalau misalnya dia
nggak suka sama kamu dan di hatinya ada lelaki lain. Gimana?”
“Ya naas kali ya... Tapi
kak, aku sudah survei. Dia nggak punya pacar alias jomblo”.
“Kalau dia dekat cowok
lain kamu pasti cemburu kan? Ngaku saja, Rel”
“Iya memang.” Kali ini
wajah Farel tampak sangat kesal.
Ia bercerita kalau
sedang kesal pada Riyan. Alasannya tepat seperti tebakanku. Farel kesal karena
Riyan mendekati Windy. Ia tak mau Windy malah pacaran dengan Riyan. Ini sudah
menghambat pendekatan Farel pada gadis itu. Selanjutnya aku tak tahu lagi, apa
yang akan terjadi. Apakah aku harus menjadi detektif lagi?
*
Dua minggu kemudian.
“Kakak tahu kenapa aku mengundang
kakak kemari? Aku ingin bicara sesuatu.” Suara Farel terdengar serak.
Aku menatapnya. Apa yang
ingin dibicarakannya? Sepertinya sangat penting. Apakah tema kali ini tema yang
sama seperti hari-hari sebelumnya? Windy?
“Kak, aku sakit hati.
Riyan pacaran.... sama... Windy. Aku.....” Suara Farel tercekat, pertahanannya
bobol. “Aku kecewa kak. Kenapa harus Riyan. Kalau saja Windy jalan dengan cowok
lain yang aku tak kenal, aku tak terlalu sakit hati. Tapi ini dengan sahabatku
sendiri. Kakak bisa bayangin kan bagaimana sakit hatinya aku?”
“Ya, kamu sudah tahu
kenapa Windy memilih Riyan, bukan kamu?”
“Karena Farel lebih
dekat dengannya. Sedangkan aku tidak.”
“Lainnya?”
“Aku tak tahu kenapa.
Aku sadar, hak Windy untuk memilih siapa yang akan jadi pendampingnya. Tapi
yang aku sesalkan kenapa mesti Riyan kak? Kenapa tidak lelaki lain saja.” Farel
menunduk, menahan isak.
“Kalau kakak katakan
Riyan lebih mengerti Windy, kamu setuju?”
“Sama sekali tidak”,
jawaban Farel tegas. “Kakak tahu sejak kapan aku mulai mengincar Windy? Sejak
ia masuk di perkumpulan ini. Sementara Riyan, baru setelah dua tahun aku
mengenal Windy, baru ia mengenalnya. Aku sudah terlebih dahulu dekat dengan
Windy. Jauh sebelum gadis itu mengenal Riyan. Mestinya Riyan sadar dari setiap
curhatanku, aku menyukai Windy. Bukannya mencari celah diantara hubungan kami,
kak.”
“Kamu yakin Riyan
mencari celah?”
“Kalau bukan mencari
celah apa lagi namanya, kak? Aku pernah berkata pada Riyan, kalau kamu tidak
mundur mendekati Windy, maka persahabatan kita putus. Ternyata dia tak
mundur.”
“Jadi, hanya gara-gara
seorang Windy kamu memutuskan persahabatan dengan Riyan?”
“Terpaksa kak. Ini sudah
terjadi.”
“Maksud kamu?”
“Riyan sendiri yang
memilih memutuskan persahabatan ini, kak. Kalau Riyan tak mendekati Windy, atau
Windy pacaran dengan orang lain, mungkin permasalahannya tak seperti ini, kak.
Aku sungguh tak bisa melupakan Windy.” Farel menangis. Mendadak ia menjadi
sangat melankolis.
*
6 bulan kemudian....
Awalnya perbincangan di
warung kopi itu aku anggap isapan jempol belaka. Mana mungkin Farel melakukan
itu. Aku sangat mengenal mereka. Dia dan Farel tak bisa dipisahkan. Aku juga
yakin kalau Farel cukup bijak untuk menghadapi permasalahan ini. Windy bukan
segalanya.
Ternyata aku salah.
Mereka memang sudah tak bicara selama berbulan-bulan. Farel belum bisa menerima
kenyataan. Bahkan efeknya juga berdampak pada Windy. Farel juga memupuk amarah
pada Windy. Jelas, kalau sekarang terjadi permusuhan di dalam persahabatan
dikarenakan oleh cinta segitiga.
Seorang lelaki dengan
wajah ceria mendekati aku. dia sangat kukenal. Farel. Enam bulan ternyata telah
memberi angin baru, ia tak lagi marah pada Riyan. Mungkin.
“Kak, aku mau cerita.
Aku jatuh cinta lagi. Hihihi...” kembali karakter kekanakannya muncul. Ciri
khasnya jika jatuh cinta.
“Bagus lah, akhirnya
kamu sadar kalau perempuan tak hanya Windy.”
“Bukan begitu, kak.
Bagaimana pun aku masih mengingat Windy. Dia tak jua mau hilang dari benakku.
Kali ini aku menyukainya, tapi tak separah aku menyukai Windy. Aku takut
terluka lagi.”
“Oh, ya..?! kalau begitu
kamu dan Riyan sudah seperti dulu lagi kan?”
“Kalau yang itu tetap
tak bisa di ubah, kak. Tali putus tak mungkin tersambung lagi.”
“Kenapa kamu tidak
memulainya lagi, Rel? Kakak tahu, Riyan tak menaruh dendam padamu. Ayolah,
kakak ingin kalian dekat kembali.”, aku memohon.
“Kak, mau tidak aku
tunjukkan gadis yang aku sukai sekarang. Kakak lihat perempuan yang jalan
dengan Windy itu ya...” Ia menunjuk ke belakangku.
0 Komentar