"Setiap amal dan perbuatan tidaklah sia-sia di sisi Allah, baik amal itu dilakukan oleh kaum pria maupun kaum wanita. Keduanya merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Berasal dari tanah yang sama, dari karakter yang sama."
🏡🏡🏡
Aku menumpang taksi daring dari kampus UNIDAR menuju ke rumah makan legend yang ditentukan oleh Keanu. Kami berencana bertemu di sana untuk mengobrol. Lagipula aku mau menebus dosa tidak datang ke pesta pernikahannya bulan lalu. Sudah aku siapkan sebuah sprei untuk kado mereka.
Aku menunggu cukup lama. Kupilih area lesehan agar Abi bebas berguling di lantai. Dia tidak peduli lantai yang berdebu. Kurasa aku pun mulai tidak peka kebersihan untuk kesehatan anakku. Kepalaku terlalu penuh dengan berbagai dilema rumah tangga dan debat hatiku untuk berkarir kembali.
"Kak, maaf telat." Keanu mengulurkan tangan setelah mengucapkan salam. Keanu mengambil posisi di depanku. Duduk lesehan sambil menyapa Abi.
Pelayan datang dan mencatat menu tambahan. Keanu hanya memesan ayam bakar dan teh dingin. Seperti yang aku prediksikan.
![]() |
[Photo: Pexels] |
"Tadi lagi ngurus SKCK dulu, Kak," kata Keanu memberi info tanpa kuminta.
"Mau lanjut kuliah? Atau.."
"Untuk pemberkasan," bisiknya. Dia melihat kiri dan kanan, "kami yang orang dalam sudah disuruh urus terus, Kak. Secara tidak langsung sudah dinyatakan lulus."
"Wah, selamat!" Ujarku tulus.
Ada rasa sedih di sisi hatiku yang lain. Enak benar jadi orang dalam. Sama persis seperti Mika. Dia tampak santai dan tidak terlalu tegang seperti kami yang lain. Jelas saja, kelulusan sudah di tangannya delapan puluh persen. Dua puluh persen lagi keajaiban yang mungkin berhasil dimenangkan oleh rivalnya.
"Kakak juga lulus. Jangan khawatir," ucap Keanu tenang. Percaya diri. Seolah dia mendapat bocoran ntah dari siapa.
"Masa? Nggak yakin. Haedar juga punya nilai bagus, kok." Aku berkata sungguh-sungguh. Lagipula Haedar pernah punya pengalaman mengajar lebih lama dariku.
"Kalau aku akan memilih Kakak lah. Bodoh amat memilih Haedar atau yang lain. Tujuan kampus itu sudah jelas, kok. Akreditasi dan dongkrak nama. Kenapa memilih figur yang nggak sesuai?"
"Haedar kan bagus."
"Kakak lebih bagus. Kakak lulusan berkualitas dari kampus terbaik di Asia. Ijazah luar negeri. Karya kakak punya banyak. Jurnal ada. Apa yang kurang? Haedar menang jam terbang di mengajar saja. Jadi dosen tidak cuma sekedar mengajar juga. Masih ada penelitian dan pengabdian."
Aku diam. Tidak tahu harus senang atau sedih. Mendengar ini tentu aku bangga. Ada secercah harapan. Kualifikasiku dipertimbangkan. Harapanku untuk lulus besar.
🏡🏡🏡
Sudah seminggu sejak aku bertemu Keanu, tidak ada kabar dari Kementerian Agama. Tidak ada pengumuman ada bocoran kapan pengumuman. Kementerian sebelah sudah merilis informasi, Keanu seperti dugaan awal memang lulus.
Setiap hari kerjaanku mengecek website resmi. Berharap ada namaku di antara ribuan nama yang lulus. Sialnya, informasi di sana tetap kosong.
Sesekali aku mengecek Instagram, Twitter, bahkan mencoba mencari tahu akun sosial media yang memungkinkan digunakan saat ini. Hampa. Kosong. Sampai aku menyerah, tidak begitu peduli.
Aku masih berpikiran sama. Haedar yang akan memenangkan pertarungan ini. Dia punya kualifikasi yang lebih baik, tapi aku masih berharap akulah pemenangnya.
"Berdoa. Berharap boleh, tapi harus siap dengan kemungkinan terburuk," kata Nadhif yang terdengar tidak berperasaan melepaskan kata-kata.
Emosiku terpancing. "Kemungkinan terburuk adalah aku masih tinggal di rumah ini!"
Nadhif tercengang. Raut wajahnya berubah. Sedikitpun dia tidak menduga jawabanku akan seperti ini. Tentu saja, aku pun tidak menyangka aku akan menjawab seperti ini.
"Apa sih yang salah?" tanya Nadhif. Kecewa. Sekaligus tidak bisa menerima semua penjelasan dan laporanku. Di telinganya terdengar seperti tuduhan.
"Semuanya salah!" Kataku kemudian. Keras. Membentak.
"Ya, sudah."
Oh, damn! Cuma itu saja responnya. Tidak ada usaha mengorek lebih. Suamiku benar-benar tidak peka. Selanjutnya dia malah menghabiskan waktu dengan menonton film hollywood tanpa berkedip.
"Hari ini Raisha ngamuk lagi," kataku akhirnya. "Aku bawa turun mainan Abi. Bebek-bebek itu. Naima mengambil bebek itu dan membawa ke belakang, Nida kan lagi dimandikan. Raisha mengambil bebek itu dan membuangnya."
Nadhif menekan pause di layar ponsel. Dia memilih mendengar ceritaku sekejap.
"Dibuang kemana?" tanya Nadhif. Respon yang baik. Nadhif harus tahu kelakuan adiknya di belakang.
"Sembarang saja. Bebeknya masuk ke bawah kolong rak piring. Sampai sekarang masih di situ. Lihat saja."
"Kenapa kamu nggak ambil?"
"Gimana mau ngambil? Susah!"
"Ya, sudah."
Selesai. Nadhif kembali menekan tombol play. Suara-suara bule berbicara dengan bahasa Inggris kembali mengisi ruang dengarku. Apapun ceritanya istri tidak pernah benar jika berurusan topik keluarga suami.
Dulu Keanu pernah mengingatkan. Menikah dengan orang-orang di sini lumayan rempong. Apalagi keluarga Nadhif tergolong berpikiran sempit. Itu Keanu bilang.
Keanu hanya memperingatkan satu saja. Jangan pernah menjelek-jelekkan atau melapor hal jelek tentang keluarganya. Kalau memang ingin mengatakan, tunjukkan bukti. Jangan katakan.
Aku perempuan. Aku pikir semua perempuan di luar sana pasti setuju. Tidak semudah itu, bestie. Pasti terkatakan dan terungkapkan. Tidak peduli dampak ke depannya. Melepaskan uneg-uneg yang terpenting.
"Lin," panggil Nadhif. Suaranya lirih.
Aku melirik Nadhif. Lama menunggu lanjutan kalimatnya setelah memanggilku. Seperti ada yang ingin disampaikan. Apa?
Mungkin dia ingin komentar tentang sikapku? Aku siap salah.
Tidak. Nadhif masih diam. Dia masih menatap layar ponselnya.
"Kenapa?" tanyaku tidak sabar.
Semenit. Dua menit. Tiga menit.
"Itu, sudah aku kirim ke Whatapp," katanya.
Aku tak sabar membuka pesan yang dikirimkan oleh Nadhif. Serahasia apa sampai dia harus mengirim ke Whatapp. Bukan langsung saja dia katakan.
Sebuah tautan berita. Aku membukanya. Jaringan agak lelet. Meskipun terbuka dan terpampang jelas judul berita itu. Bukan pengumuman kelulusan CPNS. Akan tetapi..
Kuburan Massal Tsunami Ditemukan Di Griya Abdul Aziz
Aku membaca beritanya perlahan. Benar penemuan kuburan massal tsunami. Kuburan itu baru ketahuan saat dilakukan pengeboran sumur untuk perumahan.
"Griya Abdul Aziz itu... Dimana?" Perasaanku tidak enak.
"Di rumah baru kita."
Aku terdiam. Nadhif juga. Mungkin dalam hati dia bersorak riang karena aku pasti mengurungkan niat untuk memaksa pindah.
"Lokasi penemuan ini dekat rumah kita?"
"Dekat."
"Seberapa jauh?"
"Sekitar delapan ratus lima puluh meter."
Aku diam. Sejauh apa itu? Aku tidak bisa membayangkan. Namun yang jelas, aku mulai ragu pindah ke rumah kami yang baru. Terasa seram dan entah apalagi perasaanku yang muncul.
Nadhif melanjutkan nonton, tapi aku tahu pikirannya tidak tenang. Penemuan kuburan massal itu pasti mengganggunya juga. Aku berdoa semakin khusyuk. Semoga aku lulus CPNS.
0 Komentar