Bisa aku katakan, aku bukanlah orang yang memiliki semangat hidup tinggi dalam menggapai cita-cita. Orientasiku bukan kemapaman hidup. Tidak heran, jika di usia sekarang aku tidak memiliki apa-apa selain binder berwarna hijau pokat dengan berbagai model handwriting bukan untuk dikomersilkan, tapi hanya untuk memperindah catatan saja. Isinya? Sebagian besar mimpi yang tidak pernh terwujud karena aku terlalu sibuk.
Harusnya
kesibukanku memang menghasilkan. Namun pepatah Aceh ataukah ungkapan masyarakat
setempat membuatku semakin yakin aku di posisi mana. Mereka bilang, “Orang cantik tidak bersuami, orang pintar
tidak bergaji.” Aku sangat percaya diri untuk mengatakan aku berada di
dalam kedua kelompok ini. Cantik dan pintar. Itu sebabnya aku belum menikah.
Aku juga tidak punya karir mulus. Sampai dia datang duduk di meja yang sama
denganku di sebuah warung kopi. Namanya warkop Himalaya.
![]() |
[Photo: Pexels] |
“Sering
duduk di sini, ya?” Tanyanya tanpa basa basi. Aku hanya melirik, tidak berminat
memberi jawaban. “Kamu tahu? Asap rokok yang menyebar di udara diam-diam
menempel di kulitmu yang terlalu glowing.
Kamu tahu? Asap rokok bisa menyebabkan penuaan dini. Jika kamu peduli,
sih.”
Aku
meliriknya. Memperhatikan dia dari ujung rambut sampai pakaian yang dia pakai.
Kemeja Levi’s berwarna baby blue. Warna
kesukaanku yang memang mencuri perhatianku juga karena mereknya. Kulitnya cukup
mulus untuk ukuran lelaki. Kupikir dia tipe yang sangat peduli akan perawatan
badan. Tipikal langka untuk laki-laki.
“Nggak
perlu awkward begitu. Aku kadang-kadang
mengikuti temanku ke warkop ini. Setiap aku di sini selalu melihatmu. So, aku pikir tidak salah menyapamu
untuk sekedar mengingatkan. Asap rokok bahaya untuk kulitmu yang terlalu glowing. Apalagi usiamu, yach, tidak
semuda yang orang pikir,” dia menambahkan dengan kurang ajar. Aku terkejut
tentunya.
Kalimatnya
ini seolah dia mengenalku ratusan tahun lamanya. Aku menajamkan ingatan,
mencoba mengingat dimana aku pernah bertemu dengannya. Di Jakarta, di Medan, di
luar negeri, dimana? Segenap usaha apapun aku mencoba mengingatnya, tidak ada
satu pun folder di otakku yang berhasil membawa dia kembali dalam ingatan.
“Jangan
terlalu ikut campur dengan urusan
orang. Apalagi jika tidak saling kenal,” kusambar dia dengan kalimat ketus. Dia
terkejut. Sedikit. kemudian tertawa keras.
Jujur
saja, melihat dia tertawa menyebalkan seperti ini membuat aku lebih jengah.
Maunya apa sampai harus sok kenal sok akrab dan datang dengan segenap
penghakiman. Eum, kalau bisa aku katakan kalimatnya penghakiman. Sebenarnya aku
hanya tidak suka ketika secara tidak langsung dia menyinggung umur. Seolah dia
manusia paling muda atau bermuka muda sedunia. Dari penampilan dan garis
wajahnya saja aku sudah tahu dia lelaki berumur. Mungkin kami sebaya.
“Ini
yang salah. Kamu cepat sekali melupakan orang, Alkaline. Harusnya kamu bertanya
dulu padaku, dimana kita pernah bertemu. Tidak sembarangan orang akan duduk di
hadapanmu dan bicara layaknya kawan lama jika memang tidak pernah ada cerita
sebagai kawan lama. Ini bukan dongeng, cantik. Ini realita.”
Alkaline.
Nama itu hanya disematkan oleh… rekan Elephant Mobile?
Kutatap
dia dengan seksama. Panggilan Alkaline hanya diketahui oleh rekan dari
perusahaan start up ini. Hanya tim
pemasarannya. Jadi, dia pasti salah satu dari mereka. Harusnya aku mengenal
dia. Kami tidak banyak, hanya ada enam orang. Empat orang lelaki dan dia
adalah….
Tidak
ada satu pun dari keempat nama yang tertera di sana berwajah seperti Mario
Maurer ini. Kecuali mereka operasi plastik. Itu pun mustahil, karena mereka
akan berubah wujud seperti oppa-oppa,
bukan seperti ini.
“Ingatanmu
lemah sekali, tidak sebanding dengan cantikmu.” Dia menghambuskan nafas kesal.
“Aku Seyal, kita bertemu hanya seminggu. Setelahnya aku pindah ke Thailand.
Kamu lupa kan?”
Oh,
sial! Aku baru ingat. Lelaki yang sempat masuk ke dalam mimpiku selama beberapa
minggu. Dia menghilang mendadak, kemudian muncul kembali dengan kabar sudah
resmi menetap di Thailand. Aku kini ingat apa alasan mendepaknya dari
ingatanku. Dia mengaku tinggal di Bangkok bersama seorang the most beautiful lady boy in the town. Aku menyerah. Tidak
sanggup memperjuangkan cintaku jika harus bersaing dengan lady boy. Secara tampang, aku kalah jauh.
“Seyal?
Kenapa kamu ada di sini? Dipecat dari EM?” Aku tidak bisa menutupi rasa kagetku.
Berbagai macam pertanyaan juga muncul bergantian di dalam kepalaku. Berebutan
keluar untuk ditanyakan pada Seyal.
Dia
tertawa saja. hidup memang penuh dengan candaan. Kita tidak tahu apa yang
sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Detik ini kita hanya tahu bahwa dalam
setiap doa kita sedang bersaing dengan doa orang lain.
Seyal
pernah mampir dalam setiap doaku. Bahkan pernah terselip dalam kalimat panjang
doa tengah malam. Jika Seyal memang jodohku, dekatkanlah aku dengannya. Jika
dia bukan jodohku, beri waktu untuk kami agar kami berjodoh. Jika harus
menunggu lama, jadikan kami jomlo hingga bertemu satu sama lain untuk bersama.
Seyal
ada di depanku. Kuharap dia belum menikah. Sehingga aku yakin sekali, kehadiran
dia di sini untuk menjawab doa-doaku yang pernah dianggap konyol. Namun aku
mengucapkannya dengan sepenuh hati.
“Aku
sudah lama menunggu momen ini, Line. Kita nikah saja, yuk. Biar status kita
berakhir sebagai pasangan suami istri,” ajaknya santai. Seolah meminta orang
menikah dengannya seperti menawarkan produk untuk calon klien.
Aku
terkejut. Mulutku menganga membuat terowongan besar.
“You see? Kita masih sama single di usia
tidak mua lagi. Kemudian dipertemukan lagi di sini. kalau bukan karena jodoh,
apalagi namanya?”
“like…
seriously?” tanyaku tidak percaya.
Seyal
mengangguk. Kalau kamu setuju, “Besok datang ke sini lagi jam 12 siang. Jam
makan siang. Aku akan duduk di meja nomor 44,” dia menunjukkan sebuah sudut di
warkop Himalaya.
Aku
tidak menjawab. Esoknya aku memang datang lebih cepat. aku duduk di meja nomor
44 sampai sore. Tanpa Seyal, dia tidak ada di sana. aku kecewa, kesal dan
sedih. Besoknya aku datang lagi. Besoknya lagi. Hampir setahun aku terus
kembali ke meja 44 dan menunggu kedatangan Seyal.
“Hai,
Alkaline,” sebuah suara berat mengagetkan aku. Aku menoleh dan menatap wajah
mulus seorang lelaki tersenyum padaku.
“Maaf,
siapa ya?”
“Kamu
lupa kepadaku?” tanyanya. Tanpa aku persilahkan duduk, dia mengambil posisi d
depanku. Harusnya Seyal yang duduk di situ. Dia memperkenalkan diri, “Aku Arman,
teman baik Seyal.”
Aku
menunduk. Meskipun berharap kedatangan lelaki itu. aku tetap sedih dan kecewa
mengingat nama itu.
“Aku
datang untuk memberikan ini. maaf, aku baru memberikan sekarang. Padahal aku
sudah setahunan ini melihatmu duduk di sini.”
“Apa
ini?” aku mengambil sebuah kotak merah berlapis beludru yang disodorkan Arman
ke depanku.
“Permintaan
terakhir Seyal. Dia ingin mmeberikannya langsung padamu, tapi dia kecelakaan
saat kemari. Dalam perjalanan ke Rumah Sakit, dia mninggal. Sebelum meninggal,
dia berpesan agar aku memberikan kotak ini padamu.”
Air
mataku seketika luruh. Aku menangis sesenggukan. Tidak peduli orang-orang mulai
melirik ingin tahu. Akhir ceritaku seperti ini. doaku masih misteri.
Setahun
lebih aku menunggu di meja nomor 44. Seyal tidak pernah datang dengan lengkap.
Pertama dia datang dengan kalimatnya yang menyakitkan. Kedua dia datang
diwakili orang lain. seyal tidak pernah menjadi cerita terakhirku.
0 Komentar