Aku masih tertawa sendiri sampai iklan mengambil jeda tayangan Tom and jerry di televisi. Suara pintu diketuk dari luar membuat aku sadar kembali dari ketenanganku. Agak berat aku bangkit dan membuka pintu.
“Hai, Cinta...” Seorang lelaki
menyapaku. Keterkejutanku belum reda ketika ia mengeluarkan setangkai bunga
mawar merah berbungkus plastik bermotif. “Aku merindukanmu....”
![]() |
[Photo: Pexels] |
“Mau apa kau?” Tanyaku sengit. Tawa yang
aku lepaskan berapa menit lalu terlupakan sudah. Mata lelaki itu terbelalak
beberapa saat. Ia tersenyum dan melirikku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Bibirnya
melengkung, membentuk senyum yang sangat aku rindukan.
“Aku rindu padamu, Cinta” Ujarnya
tanpa dosa.
“Untuk apa? Aku tidak merindukanmu.”
tukasku ketus.
“Oke. Aku tak perlu kau merindukanku
atau tidak, Cinta. Bagiku cukup satu hal, bisa bertemu denganmu adalah
keindahan yang begitu berarti bagiku. Hari ini maupun esok, dan seterusnya.
Terimalah....” Ia mengulurkan setangkai mawar merah. Aku hanya melihat kelopak
bunga nan indah itu. Namun rasa gengsi itu membuatku tak menyentuh sedikitpun
bunga itu. Lelaki itu meletakkan bunga di kakiku. Tanpa menatap wajahku lagi ia
pergi.
*
Sejak bercerai dari Arfi aku tak lagi
tinggal di kota itu. Tempat terindah berjuta kenangan dengan luka yang
membasuhnya. Aku pindah, membawa serta angan dan cita-citaku. Anak satu-satunya
diambil oleh keluarga Arfi. Mereka menganggap aku bukanlah Ibu yang baik untuk
seorang anak. Sejak lahir, aku pun belum pernah menyentuhnya.
“Kau harus bisa tegar menghadapi
keadaan ini, Cinta” Pesan Ibu, saat mengantarku ke batas kota. Hanya itu yang
Ibu bisa lakukan. Karena aku memang sudah dicoret dari daftar keluarga besar.
“Berdoalah, kita saling mendoakan agar
aku dan kamu kembali bersatu, Cinta... Kita berjodoh. Ini hanya
kesalahpahaman”, Arfi memberi alasan tersendiri untuk membela diri.
Tapi jelas sekali bahwa ia yang
memulai permainan ini. Di luar sepengetahuanku ia malah selingkuh dengan
sahabatku sendiri. Aku memergokinya dan membuatku kalap. Tanpa ampun aku
membuat keonaran di keluarga besar Arfi. Aku yang sudah tak disukai oleh
keluarga Arfi menambah kebencian mereka. Dengan berbagai alasan, jalan cerai
diambil untuk menyelamatkan Arfi. Ya, hanya Arfi. Bukan aku. Semestinya aku
juga mendapat tempat yang layak dalam pembelaan ini. Tapi tidak.
Lima tahun terakhir aku hidup bahagia
dengan kesendirianku. Statusku janda, tapi tak ada yang mengetahuinya. Tak ada
yang mengenalku sebagai janda. Mereka, orang-orang di luar hanya mengenalku
sebagai staf marketing yang handal dalam hal promosi. Tak heran jika posisiku
naik menjadi manajer periklanan di perusahaanku bekerja. Posisi lembab selalu
menjadi bayang-bayangku. Aku tak memikir siapapun. Arfi dan keluarganya, aku
hanya pikir secuil maaf dari kedua orang tuaku. Kalaupun tidak, aku tak terlalu
berkecil hati. Aku sudah punya semua yang aku punya. Tak perlu cinta seorang
lelaki dalam hidupku jika itu hanya membuatku sakit hati. Aku cukup sendiri
saja.
*
“Cinta” Suara lelaki membuatku
menoleh. Ia tersenyum di hadapanku. Menatapku dengan tatapan yang sangat
kurindukan. Tatapan enam tahun lalu sebelum peristiwa itu terjadi. Senyum itu
masih seperti dulu. Begitu lembut, ramah dan membuat seluruh
aliran darahku berhenti mengalir.
“Ada apa? Maaf, maksudku ada perlu apa Anda dengan saya”, sahutku sedikit sombong. Dingin. Aku
baru tersadar, senyum itu pula yang membunuhku, membuangku keluar dari
lingkungan keluargaku. Sekarang senyum itu kembali hadir di hadapanku.
“Cinta, aku perlu denganmu. Hanya
sebentar untuk kita bicara,” ujarnya. Suaranya begitu lirih, lembut. Suara yang
mampu mengambil hatiku sembilan tahun lalu. Suara yang membuatku tergila-gila
pada sosok lelaki ini.
Sembilan tahun lalu, ia mendatangiku
seperti sekarang. Di depan kantin pusat kegiatan kampus. Ia datang dengan wajah
penuh harapan. Menanti semenit waktu dariku. Kami berbicara, dan senyum serta
kelembutannya menyihirku masuk ke dalam jerat cintanya. Lama aku menanti satu
kata dari mulutnya, ia tak lakukan. Lama aku menanti kesungguhan dari dirinya,
ia tak tunjukkan. Hingga kekacauan hatiku memaksanya untuk mengungkapkan satu
kalimat kepastian dari mulutnya. Ia melakukannya, lalu menghilang. Aku tak
takut, yakin ia kembali ke pelukanku.
Enam bulan pertama, hari-hari yang
kami lalui berjalan baik-baik saja. Tak ada pertengkaran. Kecemburuan yang
muncul hanya sekedarnya saja. Tak ada perselisihan paham. Bahkan tak ada
ungkapan kasih sayang dengan sentuhan. Ciuman pertama pun aku rasa ketika enam
bulan kedua.
Satu tahun pertama. Pertengkaran
hanpir setiap hari terjadi. Antara aku, dia dan beberapa perempuan dalam
kehidupan kami menjadi bumerang. Kami sama-sama tak bisa mengelak dari rasa
cemburu. Namun Arfi selalu menyalahkan aku tanpa mau peduli bagaimana
perasaanku. Rasa cemburuku besar, begitupun dia. Aku tak bisa mengelak dari
perasaan yang justru berkecamuk mengoyak hatiku.
“Cinta....” Panggilnya, wajahnya
memelas. Memperlihatkan keinginan yang sangat. Begitu yang selalu ia lakukan
jika menginginkan sesuatu dari diriku. Tatapan yang membuatku luluh dan tak
ingin melepasnya. Tentu saja ditambah dengan bertambahnya rasa cinta dan
sayangku pada lelaki di hadapanku ini.
“Aku sibuk sekali. Apa yang kau ingin
bicarakan. Katakan saja di sini.”, aku harus tetap bersikap dingin. Ini demi
mempertahankan prinsipku. Melupakan lelaki ini.
“Tak mungkin kita berbicara di hadapan
orang banyak begini, Cin. Ini masalah kita. Antara aku dan kamu. Tolonglah...”
Ia kembali memelas, membuatku tak mampu berkutik. Mataku tak boleh bertatap
dengannya jika tak mau luluh.
“Apa yang mau kau bicarakan lagi, Fi.
Sudah jelas kan semuanya...?!.” aku berjalan menuju lift. Ia mengikutiku terus.
Memegang pergelanganku erat. Bodohnya, aku tak berkutik. Aku malah menikmati
saat-saat seperti ini. Saat-saat yang pernah terjadi sekitar delapan tahun
lalu.
“Kamu tahu, Cin... Aku masih sangat
mencintaimu. Sejak lima tahun lalu, aku terus memikirkan kamu. Aku terus mencarimu.
Karena aku yakin aku masih mencintamu. Lebih dari.....” Ia berhenti ketika aku
menatapnya. Aku tahu siapa yang akan disebut. Arfi diam, tak menyambung
kalimatnya.
Siapa yang tak tahu bagaimana
hubungannya dengan Yocta. Keberadaannya bahkan lebih penting daripada
keberadaanku yang saat itu sedang mengandung anaknya. Sungguh sesuatu yang
menyakitkan. Aku masih berpikir sepuluh kali lagi untuk kembali dalam pelukan
Arfi. Aku harus siap menerima Arfi jika sewaktu-waktu ia menyakitiku lagi.
Mungkin dia akan membawa Yocta lainnya untuk membuatku kembali ke titik nol.
Sakit.
*
“Cinta, terimakasih atas waktu yang
kau berikan untukku hari ini. Aku akan tetap berusaha, seperti dulu aku belajar
memilikimu, seperti waktu yang kau berikan untukku. Terimakasih Cinta, aku tak
akan menyiakan kesempatan ini. Kuharap, kita kembali bersatu. Aku akan
memperbaiki kesalahanku. Sungguh, aku tak mau lebih bodoh dari keledai.” Suara
Arfi mengalun dari seberang sana. Mengalun lembut masuk ke telingaku. Membawaku
terbang ke awang. Sampai telepon dimatikan, aku masih terpana dan terus
membayangkannya. Mungkinkah aku jatuh cinta lagi?
*
“Cinta, aku senang sekali masih bisa
bertemu denganmu. Duduk lagi bersamamu. Walaupun tak di tempat dulu. Kalau
boleh aku tahu, kenapa?” Tanya Arfi hati-hati. Sepertinya ia sangat menjaga
kata-kata setelah melihat sikapku.
“Aku tak mau mengenang kenangan kita
dahulu” tuturku tanpa menatapnya. Konsentrasiku terfokus pada hidangan yang
telah tiba. Meskipun tak melihat langsung matanya, tetap saja jantungku
berdegup kencang.
“Oh, begitu ya....” Ia tampak kecewa.
Aku tak tega.
“Memangnya kenapa dengan tempat ini?”
“Tidak. Aku hanya heran, kenapa kau
lebih suka di sini”
“Manusia akan berubah, Fi. Tidak
dengan kamu, aku atau siapa saja. Aku menyukai tempat ini, karena itu aku
memilihnya. Atas persetujuanmu juga kan?”
“Iya... Aku kira kau akan memilih
salah satu tempat kenangan kita. Tak pernahkah ada sebersit kerinduan saat
melewati tempat-tempat itu. Kita pernah menghabiskan waktu disana, Cinta...”
“Aku pikir tidak. Tak ada lagi
kenangan tentang kita. Aku telah menguburnya hingga aku sendiri tak mampu
menggali kembali. Kerinduan itu kuharap tak muncul.”
“Apa kau juga telah menguburku di
dasar hatimu, Cinta? Aku masih mencintaimu dan tak mampu melupakanmu?”
“Setelah apa yang kau lakukan padaku.
Kerinduan itu hilang.” Aku menahan tangis yang siap pecah, “bagaimana kabar
gadismu? Gadis yang kau cintai itu” sindirku kemudian.
“Tak ada perempuan lain dihatiku
selain dirimu, Cinta.... Kamu tahu, buah cinta kita telah beranjak remaja.”
Ceritanya.
“Oh, ya. Aku tak pernah mengenalnya.
Kerinduan itu pernah ada di dadaku untuknya. Tapi kamu yang membuatku tak bisa
mencium darah dagingku snediri, Fi. Apakah begitu caramu mencintaiku? Dengan
membunuhklu perlahan?”
“Tidak, Cinta. Putri kita, Mawar,
berada di kota ini. Jika kau bersedia bertemu dengannya, aku akan mempertemukan
kalian. Besok. Di tempat ini juga, kalau kamu tak mau di tempat lain.”
*
“Cinta, ini anak kita. Mawar.” Ucap
Arfi. Ia bersama seorang anak perempaun berkulit putih mulus dengan satu lesung
pipi di bagian kanan. Anak ini begitu manisnya. “Ayo, beri salam” Arfi
mengucapkan pada gadis kecil itu, Mawar.
“Papa, tante ini mirip Mama ya...”
ucap Mawar setelah mencium tanganku. Sejujurnya, aku ingin sekali memeluk gadis ini. Tak melepasnya lagi sampai kapanpun. Anak ini mirip sekali
dengan Arfi. Matanya memwarisi mataku, dan senyumnya persis seperti Arfi.
“Peluk dia, Cinta. Dia anakmu. Anak
kita”, suara Arfi menyadarkan aku, ada orang lain selain Mawar. Tanpa menunggu
lama aku memeluknya. Memeluk gadis kecilku dengan penuh kerinduan. Aku telah
menemukan kerinduan itu.
*
Minggu pagi tak sepeerti biasanya. Aku
bangun lebih pagi dan lebih semangat. Menyalakan musik lembut untuk menemaniku
membereskan rumah. Sejak aku bekerja dan sibuk di luar rumah, aku belum pernah
mempekerjakan orang lain. Bagiku bekerja sendiri lebih baik, sebagai pengganti
olah raga. Karena aku memang tak suka olah raga. Semangatku menanjak tiba-tiba.
Adda harapan baru, secercah cahaya baru dalam hidupku setelah bertemu Mawar.
Aku jadi ingin hidup lebih lama lagi. Hingga waktu itu pun tiba, ketika aku
akan bertemu kembali dengan putriku.
“Terimaksih telah membawa Mawar padaku,
Fi.” Ucapku tulus. Arfi tersenyum. Aku bisa melihat cahaya kebahagiaan mulai
terpancar di matanya.
“Aku yang harus berterimakasih padamu.
Kamu mau menemuiku, menemui Mawar, setelah apa yang aku lakukan padamu. Aku
malah berharap, kita bisa berkumpul bertiga terus seperti ini, Cinta...”
Ungkapnya. Tulus. Arfi mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Lalu tangannya
membelai kepala Mawar, spertinya ia begitu bahagia dengan kebersamaan ini. Aku
juga bahagia, tapi aku tak bisa ungkapkan ini.
“Kamu bahagia
hidup bersama Mawar tanpa aku kan?” Tanyaku pada Arfi. Arfi menatapku. Cahaya
yang tadi kulihat di matanya kembali memudar. Kemudian kepalanya bergerak,
menggeleng lemah.
*
1 bulan kemudian
“Cinta, terimakasih telah mengundangku
bertemu denganmu, walau tanpa Mawar” cahaya dimatanya terpancar begitu bahagia.
Setelah bertemu Mawar sebulan lalu, aku memutuskan tak menemui Arfi. Aku akan
mengabarinya kembali jika aku sudah siap dengan jawabanku.
“Ya. Aku harap Mawar baik-baik saja,”
harapku. Ia mengangguk. Lalu cerita tentang Mawar mengalir dari mulutnya. Mengapa ia dinamai Mawar?
Keluarga Arfi berharap putriku menjadi anak yang manis dan indah, tetapi tak mudah
masuk ke dalam jebakan lelaki. Meskipun
bahasanya tak sperti itu, tapi tujuan yang ingin dikatakan begitu. Keterlaluan.
“Setelah aku pikir-pikir dengan
matang, demi Mawar, aku..... menolak untuk kembali hidup bersamamu, Fi. Aku tak
mau menangis lagi. Treluka lagi dengan sikapmu. Waluapun kau berjanji tak
mengulanginya, aku yakin cobaab itu akan datang lagi mendera rumah tangga kita
nanti. Aku rindu pada Mawar, tapi aku tak bisa bersama lagi. Semoga, walaupun
keputusanku begini, aku masih bisa bertemu Mawar, darah dagingku sendiri.”
Kata-kata berat ini akhirnya keluar juga. Lega.
“Apakah ada lelaki lain yang akan
menjadi calon suamimu, Cinta...?” Mata Arfi berkaca-kaca. Aku tahu ia kecewa
dengan jawabanku. Dia memersiapkan diri bukan untuk kebahagiaan, bukan untuk
dilukai lebih dalam.
“Tak ada lelaki dalam hidupku selain
kamu. Kamu lelaki pertama dan terakhir yang aku cintai. Untuk selanjutnya, aku
akan memilih sendiri. aku tak percaya lelaki, Fi. Jika aku kecewa dengan lelaki
dengan pengkhianatannya, maka aku tak akan mengulang hal yang sama, Fi”
Tambahku.
“”Termasuk denganku?” Tanyanya lagi,
masih berharap.
“Kamu lelaki pertama yang menyakitiku,
Arfi. Mana mungkin aku menrimamu kembali.” Mungkin dengan cara keras seperti
ini aku bisa menghentikan pengharapan arfi yang berlebihan.
0 Komentar