SUDAH HABIS semua isi lemari aku keluarkan, lipat, dan tata kembali. Semua lemari aku perlakukan sama. Mulai dari kamar yang aku tempati sekarang, kamar emak, lemari di kamar bujang, sampai lemari di bawah. Cardigan hijau daun itu tidak aku temukan. Entah kemana nyelipnya. Beberapa kali aku menelepon suamiku di luar kota, menyuruhnya mengecek di dalam lemari kami di rumah. Apakah aku membawa cardigan itu ke sana atau tidak.
“Adanya yang hitam.
Memangnya kamu punya yang hijau? Modelnya gimana, sih? Aku juga nggak ngerti.
Memangnya itu dipakai untuk apa?!” suamiku malah mengomel panjang lebar.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Sudahlah. Pupus sudah
harapanku. Mungkin aku kurang teliti mencarinya. Aku harus mencarinya lagi
seteliti mungkin. Memang susah jika punya banyak lemari dan harus menempatkan
barang-barangku di beberapa tempat berbeda. Sulit mencarinya. Apalagi jika aku
sudah kembali ke kota, maka siapa saja dengan mudah memindahkannya. Emak yang
paling sering melakukan hal seperti ini.
Sebenarnya bukan hanya
emak. Adik perempuanku juga kerap membongkar lemari, menjarah apa saja yang
disukainya dari koleksiku. Entah kenapa, apapun yang dipakainya selalu terlihat
bagus. Sekalipun itu pakaian bekas yang aku tidak pakai lagi karena sudah
berwarna kusam. Tetap saja tidak terlihat kumuh di tubuh Ira. Justru terlihat
seperti memang dasar warnanya seperti itu.
Terkadang aku merasa
iri dengan warna kulit Ira yang cerah dan menerima warna apa saja. Berbeda
sekali dengan kulitku yang berwarna gelap. Kulitku tidak menerima semua warna.
Terutama warna mentereng. Aku akan tenggelam dalam warna yang aku pakai. Padahal
ketika mencobanya di toko semuanya terlihat manis dan matching denganku.
Tidak heran. Banyak
pakaian bagus dan berharga sedikit merogoh kocek lebih dalam hanya aku pakai
satu atau dua kali. Kemudian aku simpan di dalam lemari, menjadi rumah kecoak.
Jika Ira menemukan pakaianku, dia akan meminta dengan baik-baik. Seringnya aku
menolak menghibahkan baju-baju itu untuknya. Lama kelamaan aku melihat juga
pakaian itu di beberapa foto Instagram unggahannya. Biasanya aku akan mengamuk.
Emak akan membelanya.
Setelah aku
pikir-pikir, tidak ada gunanya berdebat dengan emak atau Ira. Ira akan berkeras
tidak mengambil bajuku meskipun bukti otentik sudah ada. Dia hanya mengaku
meminjam dan mengembalikan ke tempat ia mengambil. Sementara emak akan
menasehatiku agar tidak pelit kepada saudara sendiri. Selain itu emak juga
mengatakan daripada bajunya busuk tidak terpakai, lebih baik dipakai oleh Ira
yang memang kekurangan baju.
Aku menemukan ide agar
tidak sakit hati pada Ira. Semua baju yang kira-kira tidak aku ikhlaskan untuk
dia pakai, aku akan simpan di kota. Tidak aku bawa pulang ke rumah. Meskipun
lemariku harus penuh di kos. Sementara baju yang sudah benar-benar tidak aku
inginkan akan aku simpan saja di rumah. Terserah jika Ira akan mengenakannya.
Kalaupun Ira terciduk memakai bajuku, aku tidak lagi protes.
“Berbagi dengan saudara
sendiri kan bagus, Rista. Kenapa jadi orang pelit sekali.”Emak sering kali
mengomentari sikapku yang terlalu perhitungan kepada Ira.
Ya, pada akhirnya aku
memang rela berbagi. Aku tidak keberatan lagi Ira memakai baju-bajuku. Tapi
soal cardigan itu? kenapa Ira masih mengambilnya juga. Padahal kami sudah
menikah dan tidak seharusnya main jarah-jarahan lagi.
*
Setiap hari di telepon
aku selalu membahas soal cardigan hijau daun itu pada Faruq. Suamiku ini
mungkin sudah bosan sekali mendengar keluhanku soal cardigan itu. Tuduhanku
terhadap Ira yang menurutnya tidak masuk akal. Dan entah apalagi omelanku yang
membuat dia sakit kepala.
Setiap pembahasan akan
dia akhiri dengan tawaran membeli cardigan baru. Dia menyarankan aku untuk
mencari di toko online. Cukup order, dia yang akan membayarnya. Aku tidak
masalah. Aku diam saja. aku mencari-cari, tidak ada yang sama. Meskipun sudah
aku masukkan ke dalam whistlist
beberapa model yang sama. Tetap saja aku mempermasalahkan cardigan hijau daun
yang hilang itu.
Cardigan itu aku beli
di Beijing. Satu-satunya yang menjadi bukti bahwa aku berselera bagus.
Teman-temanku di kota selalu memuji paduan cardigan itu dengan terusan spandex
polos yang lebar bagian bawahnya. Di saat semua orang menggunakan gaya mainstream dengan paduan blazer atau selendang,
kekuatanku terletak pada cardigan hijau daun itu. Keren, bukan?
Dan hilang! Inilah yang
menyakitkan aku. Sangat menyakitkan.
*
Uwakku meninggal dunia,
adik kandung emak. Memang sejak kecil ia sering sakit-sakitan. Bahkan bisa
hidup sampai usianya mencapai angka lima puluh tahun saja sudah menjadi keajaiban
untuk uwakku. Kami berangkkat ke kampung. Aku, emak, dan Ira. Sepanjang
perjalanan aku tidak bicara pada Ira. Kesal dengan caranya mengambil cardigan
hijau daunku diam-diam.
“Kak, kamu kenapa, sih?
Dari tadi diam saja. Diajak bicara diam saja. Ada apa? Ribut dengan bang
Faruq?” tebak Ira hilang kesabaran.
“Nggak. Lagi malas
ngomong saja.”
“Ya ampun, sesekali
jumpa dengan adik semata wayang pakai malas ngomong. Ada apa? Cardigan hijau
mudamu hilang? Mau nuduh aku yang ambil? Emak udah cerita.”
Ah, emak memang tidak
bisa menyimpan rahasia. Dia selalu menyimpan raasia di depanku. Tapi selalu
berbagi dengan Ira. Terutama soal cardigan hijau muda itu. aku sudah berniat
untuk tidak memperpanjang lagi. Sudahlah. Aku tidak ingin membahasnya lagi.
*
Rumah Uwak ramai. Di
rumah penuh dengan saudara. Beberapa sepupu yang berusia muda duduk di sana
dengan wajah sedih-sedih rela. Sedih karena ibunya sakit dan meninggal. Rela
karena penderitaan uwak sudah berkhir.
Aku tidak pernah betah
tinggal di kampung emak. Kumuh dan pengap. Matahari seolah tidak memihak ke
rumah uwak. Kebersihan di sini juga tidak terjaga. Emak sibuk mengobrol dengan
para tetangga dan kenalannya di dalam sana. Sementara aku memilih duduk di luar
sambil meneguk teh hangat, bermain ponsel, dan menelepon Faruq.
Sayup-sayup mataku
menangkap sebuah benda yang tersangkut di pagar. Aku mendekati pagar dan sedikt
jijik aku congkel benda itu dengan kayu. Benda itu jatuh. Aku mulai
mengenalinya. Cardigan hijau muda.
Tanpa rasa jijik lagi,
aku mengambil dengan kedua tanganku. Membentangkan di depan dadaku. Benar. Ini
cardigan hijau muda yang aku cari sampai menuduh Ira mengambil tanpa izin.
Beberapa bagian sudah terputus rajutannya. Bagian tangannya juga sudah kotor
terkena jelaga. Kotor sekali, tidak layak akai. Itu sebabnya derajat cardigan
itu turun dari lemari rumahku ke pagar rumah uwak.
“Bukannya itu cardigan
kamu ya, kak?” tiba-tiba saja Ira sudah di belakangku.
0 Komentar