KAMI BERTEMAN BAIK. Itu dulu, sebelum dia menikah dengan seseorang yang ia pilih dan aku menikah dengan abangnya. Hubungan kami layaknya sahabat dekat, lebih dari saudara. Di hari itu pula aku memutuskan untuk berkomitmen terhadap lelaki yang aku sebut suami kini. Dia, tentu saja secara otomatis menjadi saudara iparku. Adik ipar.
Sekitar enam tahun
lalu, hubunganku dengan Windy Alexandra dimulai ketika dia penasaran denganku.
Dia ingin tahu siapa orang yang sedang dekat dengan abangnya. Kedekatannya
dengan Tommy memudahkan dia untuk bertemu dan berteman denganku. Tommy adalah
temanku, kami seangkatan di Fakultas yang sama. Kami pernah bekerja di media
yang sama dan besar di Lembaga Pers Mahasiswa yang sama. Kami tidak begitu
akrab satu sama lain. Tapi kehadiran Windy akhirnya membawa kami ke sebuah
pertimbangan besar.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Tommy awalnya berpikir
untuk dekat dengan Windy. Dia suka tipikal perempuan seperti itu. Genit,
cantik, berbaju putih dan mengandalkan penampilan dibandingkan otak. Aku heran,
mengapa selera Tommy sangat aneh. Dimana-mana lelaki suka dengan perempuan
cantik. Kupikir semua lelaki ingin paket lengkap. Cantik dan pintar. Tommy
berbeda sekali.
Lama aku penasaran
sekali dengan alasan Tommy. Sampai suatu hari dia mengatakan tidak lagi bertemu
dengan Windy. Kupikir tentulah ada beberapa hal yang membuat Windy atau Tommy
tidak saling bertemu. Aku tidak terlalu peduli. Windy akhirnya mengatakan dia
sedang dekat dengan seseorang.
Tommy memperkenalkan
pada seorang perempuan baru. Tipikal sepert Windy. Kutanya padanya tentang
perihal ini. Tommy tertawa dan menjawab, “Perempuan genit selalu mencoba
membuat kita bahagia, Le. Dia tahu membuat stress kita terminimalisirkan tanpa
harus memaksanya untuk memberi. Mereka akan sangat mudah untuk dikuasai.
Perempuan cantik tidak membuat kita malu untuk membawanya kemana-mana. Kalau
kemana-mana, kita tidak akan lupa membawa pulang. Orang berbaju putih tahu ilmu
anatomi dan apapun yang berkaitan dengan kehancuran masa depan. Jadi untuk
menikmatinya kita pun tak perlu khawatir. Tentu saja mereka mengandalkan
fashion di atas segalanya.”
Jawaban yang masuk
akal. Cukup sadis. Aku tidak percaya Tommy akan berkata seperti itu. Dia juga
menyinggung tentang calon adik iparku. Sedikitnya. Kasihan kalau dia
mendapatkan istri dari golongan yang sama. Kupikir dia akan memandang rendah
perempuan itu. Sama seperti dia tidak menempatkan penghormatannya kepada para
perempuan yang dia dekati selama ini.
Tommy tidak memacari
Windy secara resmi. Mereka dekat layaknya kekasih. Istilahnya sekarang teman
rasa pacar. Itu pula alasan Windy mengapa dia bersama lelaki lain. Windy sudah
menunggu cukup lama pernyataan cinta dari Tommy. Sementara Tommy menikmati tiap
detik bersama Windy.
Kalaupun aku menjadi
Windy, aku akan meninggalkan Tommy. Dia tipikal yang selalu ingin dikejar. Ya,
siapapun tahu Tommy cukup tampan. Bagiku tampan saja tidak cukup jika dia tidak
bisa menghargai perempuan. Untunglah Tommy tidak jadi bersama Windy. Kalau tidak, tak bisa aku bayangkan bagaimana
Tommy menebarkan pesonanya pada perempuan lain dan membiarkan Winny bersujud di
kakinya untuk tinggal di rumah.
Ah, jelek sekali
pikiranku pada Tommy. Padahal dia tidak pernah sekalipun menyakiti aku. Justru
sebaliknya, Tommy orang yang paling sering membantuku.
“Aku juga memutuskan
untuk mendekatinya lagi karena abangnya dan kamu,” kata Tommy akhirnya. Dia
seperti menahan dan memaksa kalimat itu keluar dari mulutnya hari itu.
Aku terkejut sekali. Tanpa
bertanya pun aku sudah tahu alasannya. Tidak mudah untuk sepasang teman masuk
ke rumah yang sama dan berstatus sebagai ipar. Terutama jika satu lelaki dan
satu perempuan. Efeknya tidak bagus. Aku dan Tommy berteman. Ketika kami
menikah dan mereka menikah. Kelak kami berdua akan lebih dekat. Secara
pemikiran kami sama karena berasal dari latar belakang yang hampir sama dalam
segala aspek. Aneh sekali jika kami berdua lebih dekat daripada kedekatan kami
sendiri terhadap pasangan kami. Jelas saja kami banyak ketidaksamaan satu sama
lain dengan pasangan kami masing-masing.
Tommy mundur karena
kedekatanku dengan abang Windy. Terlepas apakah dia tahu Windy sudah dengan
lelaki lain ataupun dia memang menjauhinya sebelumnya. Aku tidak sampai
berpikir ke sana. Setahun setengah kemudian aku melihat keterkejutan yang
sangat jelas di wajah Tommy ketika aku sampaikan berita pernikahan Windy. Windy
menikah dengan sepupunya sendiri.
“Perjodohan?” tanyanya
seperti biasa saja ini terkadi di lingkungan mereka. Kondisi perkawinan di Aceh
terkadang masih menganut paham yang diwariskan dari Asia Selatan. Menikah
dengan saudara sendiri.
Praktek tersebut masih
lazim dilakukan di Pakistan, India, Bangladesh dan beberapa negara di Asia
Selatan. Tidak heran jika Aceh juga menganut hal seperti ini. konon katanya
huruh H di kata Aceh merupakan singkatan dari Hindia. Perantau dari sebelah Samudera
Hindia yang merujuk ke Asia Selatan. Jika ini terjadi, bukanlah hal yang aneh.
“Bukan. Lelaki itu
pacarnya. Mereka sudah pacaran dua tahun katanya. Berarti saat kalian bersama
mereka sudah bersama juga?” tanyaku penasaran. Di sisi lain, aku tidak percaya
jika Windy tipikal menggandeng seperti itu.
Tommy mengangkat bahu.
Aku tahu dia tahu sesuatu. Dia hanya tidak mau membaginya denganku. Entah
mengapa sejak itu penilaianku terhadap Windy mulai menurun. Terlebih lagi dia
sering sekali datang ke rumahku, berbincang, berbisnis. Aku merasa perempuan
ini sangat berbeda dengan Windy yang aku kenal dua tahun belakangan.
Windy yang sekarang
suka sekali meninggikan diri. Dia tidak rendah hati. Dia benar-benar tipikal
yang tidak bisa menghargai orang lain. Sampai akhirnya dia menikah dan aku
mendengar semua hal dari suamiku. Maharnya sangat tinggi untuk golongan mereka.
bahkan orang tua mereka membelikan segalanya untuk Windy. Isi kamar yang
komplet dari bahan Jepara. Ini adalah kemegahan yang dipmer ke seluruh orang
kampung. Menunjuk kedudukan di lingkungan sosial. Menaikkan derajat sosial
seseorang pula.
“Mereka memakai serba
cokelat” Kata suamiku waktu itu dengan wajah penuh harapan. “Apakah kita akan
pakai cokelat juga?”
Aku menggeleng. Apapun
warna pakaan nikah, kata orang tidak masalah. Dalam sebuah pernikahan yang
paling penting adalah aqad yang diucapkan dalam satu tarikan napas. Aku
inginkan putih. Putih bersih.jika pun harus menambahkan warna lain, warna itu
bukanlah warna dominan.
“Aku ingin putih.”
Kataku waktu itu. Setelah keputusan warna pakaian pengantin, hubunganku dengan Windy
dan abangnyaidak begitu mulus. Windy kerap menyindirku yang belum menikah.
Seolah aku akan menikah dengan orang lain, bukan abangnya. Dia begitu aneh. Aku
dan abangnya juga sering bertengkar.
Mulutku tidak bisa
berhenti berkoar ketika delapan bulan kemudian Windy melahirkan seorang bayi
perempuan. Seminggu sebelumnya kami datang berkunjung. Aku dan temanku yang
juga kawan Windy. Sejak itu kami mengomentari bahwa kandungan Windy seperti
bukan kandungan perempuan hamil delapan bulan. Besar sekali seperti perempuan
yang sedang menunggu hari. Benar saja. Bayi perempuan itu lahir dan kami
semakin kaget.
Kalimat suamiku sebelum
menikah membuat aku semakin yakin bahwa aku sedang melihat orang asing di
depanku. “Lea, dosa orang tua tidak diwariskan. Begitu pun dengan dosa Windy
atau siapapun itu. Tidak akan diwariskan ke anaknya. Berdoalah dan hindarilah
dosa itu. Kita harus sama-sama menjaga.”
“Jadi benar apa yang
aku tebak dan temannya katakana? Aku tidak menyangka. Kau selalu…” kalimatku
terpotong ketika telapak tangan abang Windy menutup mulutku. Ada luka di binary
matanya. Termasuk sebuah tatapan penuh kekesalan.
Sejak itu pun
pertanyaan tentang keseriusan hubungan kami tidak dijawab oleh abang Windy
dengan serius. Dia selalu menjawab dengan
kalimat, “Jika aku sudah punya uang dan kuliahku selesai. Bagaimana
mungkin aku menikah jika aku tidak bisa menghidupi orang lain. Menghidupi
diriku saja masih susah.”
Aku tidak pernah
bertanya lagi selama tiga tahun lamanya. Sampai akhirnya dia melamarku dan kami
saling tawar menawar mas kawin. Ada yangaku tidak suka dari budaya Aceh.
Terkadang suatu kelompok masyarakat menempatkan jumlah mahar sebagai penentu
kualitasnya sebagai calon istri yang berkelas. Tentu saja, ketika menyebut angka
di bawah yang diberikan untuk Windy aku merasa sangat tidak nyaman.
“Kau bukan siapa-siapa,
Lea. Kelebihanmu hanya selesai kuliah dan bekerja” ucap abang Windy ketika itu.
Cukup jelas. Ini adalah kode untuk megakhiri semuanya. tapi kemudian Windy
datang dan memohon agar aku memenuhi permintaannya untuk abangnya. Lagipula aku
dan abang Windy sudah cukup lama bersama. Lebih baik mengesahkan di atas
catatan Kantor Urusan Agama.
0 Komentar