Aku berada di hotel. Benar-benar hotel. Di sisi kiri pintu masuk ada kamar mandi dengan wastafel, shower, dan kloset duduk. Airnya mengalir lancar. Ada air panas dan dingin. Klosetnya tidak sumbat, shower juga lancar. Lampu terang, ada cermin besar di depan wastafel. Aku bukan saja bisa melihat gigiku setelah menyikat gigi, aku bisa berselfie dengan beberapa angle sekaligus. Ada tong sampah juga di bawah wastafel.
Di
sisi kanan pintu ada lemari yang menempel ke dinding. Sama seperti kebanyakan
hotel lainnya. Maju sedikit, ada TV tabung berukuran standar dengan rak yang
bisa diisi di bawahnya. Ada meja rias yang lebar lengkap dengan kursinya. Meja
rias ini dilengkapi dengan tiga laci lebar. Di bawah meja rias ada tong sampah
juga.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Ada
tempat seperti balai-balai. Biasanya aku akan meletakkan koper di atasnya kalau
menginap di hotel. Di sini juga bisa duduk sambil bersandar sambil menatap
keluar jendela. Meskipun tidak perlu selebay itu. Ada dua buah sofa empuk dengan
meja bulat di sini. Lalu twin bed
dengan seprai putih bersih. Di antara kedua spring
bed itu ada nakas dengan lampu
kembar di atasnya. Lampu itu bisa dinyalakan hanya satu saja. Nakasnya
berfungsi untuk mengatur elektronik di kamar. Termasuk menyalakan TV.
Tidak
mungkin ini kamarku. Kegalauan mulai mengusik.
Kuletakkan
koper di bawah meja rias. Kuambil perlengkapan mandi, lalu membasuh diri
setelah lelah. Usai mandi air hangat, badan lebih segar. Tiba-tiba saja kesepian
dan jarak sangat terasa. Hatiku terasa hampa. Kerinduan mulai berperan di
situasi yang tidak menyenangkan ini.
Air
mataku jatuh. Aku menangis. Tangisan rindu rumah dan ketakutan diminta tambahan
bayaran. Uh, andai saja aku tidak memilih untuk kuliah ke luar negeri. Hidup
senormalnya di negeri sendiri tanpa membuat susah banyak orang.
Terlanjur.
Aku sudah di sini dengan sebuah masalah baru. Aku tinggal di kamar hotel
bintang lima.
-o0o-
Bermodal
peta, aku mengikuti jalan keluar untuk menghirup udara segar. Sial! Bukan aroma
rumput dan aroma mawar yang mekar di sepanjang jalan kampus yang aku dapatkan,
tapi aroma khas negara ini. Entah bau apa yang bisa aku sebutkan. Sulit untuk
dijelaskan.
Sesekali
ada aroma pesing, kecut, asam, apek, dan aroma makanan basi yang tidak jelas.
Belum lagi asap dari sangku-sangku yang dibuka di pinggir jalan menguarkan
aroma makanan kaki lima khas negeri tirai bambu.
Serius.
Aku hampir muntah. Belum lagi para pejalan kaki yang tanpa ragu meludah dahak
hijau di jalan. Kakinya seperti kaku melangkah. Demi tujuan utamaku, kucoba
abaikan semua itu. Tujuanku hanya satu, yaitu mencari toko ponsel untuk membeli
kartu SIM.
Aku
cukup percaya diri kalau sistem jual beli kartu di Beijing sama dengan di
Indonesia. Sekali lagi aku salah dan perkara ini tidak ada yang menulis di
Google. Di negeri ini, kartu SIM tidak dijual sembarangan. Apalagi untuk orang
asing seperti aku. Harus ada paspor dan berbagai macam prosedur yang tidak aku
mengerti.
“Wo keyi bang ni (aku bisa bantu
kamu),” kata laoban
(penjual) di toko ponsel ketiga yang aku datangi.
Dia
membuka sebuah map dengan lembaran fotokopi yang sangat banyak. Sesekali dia
mencocokkan data dengan aplikasi di ponselnya. Dia melakukan untuk beberapa
lembar kartu. Sampai dia berhenti pada selembar fotokopian KTP. Pemiliknya
lelaki paruh baya. Dia memotret dengan kamera ponselnya, kemudian memasukkan ke
dalam aplikasi yang digunakan. Sepertinya mendaftarkan kartu SIM dengan
identitas orang lain untukku.
Hanya
dalam waktu setengah jam, aku sudah memiliki kartu SIM yang bisa aku gunakan
untuk panggilan ke Indonesia, mengirim SMS, dan menerima telepon. Aku tidak
mendaftarkan internet, karena ternyata butuh biaya tambahan dengan prosedur
yang lumayan tidak ramah untuk newcomer seperti
aku.
Selama
di toko ponsel itu, aku melirik-lirik koleksi ponsel di etalase. Ponsel android
yang mungkin bisa aku miliki dalam waktu dekat untuk mempermudah komunikasi ke
Indonesia. Harga termurah berkisar antara 500an RMB lebih. Untuk merek yang
sudah dikenal seperti Huawei harganya lumayan pula. Di atas 1000an RMB atau di
atas dua jutaan.
Kondisi
keuanganku tidak sedang baik-baik saja. Aku memutuskan menunda semua kebutuhan
penting tapi tak penting ini. Masih aku bayangkan bagaimana sulitnya emak dan
Ayah mencari pinjaman untuk modalku berangkat ke Beijing. Di titik ini aku baru
tahu bahwa kuliah dengan beasiswa pun harus memiliki modal sendiri.
Aku
pulang ke kampus dengan jalan yang sama ketika aku keluar dari kampus. Di peta
tertulis west gate, itu artinya ada
gerbang-gerbang lain sesuai dengan arah mata angin. Kampusnya lumayan besar dan
aku yakin mudah tersesat tanpa peta.
Aku
menemukan asrama 37, menurut informasi singkat yang ditulis di peta, ini adalah
student dormitory untuk mahasiswa
asing. Aku masuk ke asrama yang penampakannya jauh berbeda dengan tempatku
tinggal. Aku menemui zhendai
(resepsionis) dan menanyakan kamar Margareth Li, gadis asal Malaysia yang
tinggal di Britania Raya dan kutebak tinggal di sini.
Jangan
tanya kenapa aku yakin sekali dia tinggal di sini, entah kenapa sesekali
instingku diarahkan seperti ini. Aku memilih mengikutinya daripada mengabaikan
insting yang berbisik.
Zhendai tidak
mengenal siapa Margareth Li. Aku pun tidak tahu nama mandarinnya siapa. Aku
hanya mengenal marganya Li, karena di belakang nama Margareth ada kata Li. Aku
sering menonton drakor dracin atau dorama Jepang yang memakai nama Inggris
tetapi tetap mengggunakan nama keluarga bawaan nama aslinya seperti George
Koizumi, Rachel Park, Olivia Kim, Cecily Wang, dan lain-lain. Harusnya
Margareth memakai konsep yang sama.
“Ni kan! Shi bu shi ta? (Coba kamu lihat!
Benar tidak dia?)” tanya zhendai dengan
bahasa mandarin yang cukup cepat. Aku hampir tidak mengerti apa yang diucapkan.
Aku
mengangguk. Zhendai menyebut nomor
kamar Margareth, aku tidak paham. Lantas dia menulis di secarik kertas. Kamar
nomor 411. Aku langsung masuk ke lorong menuju tangga sebelah kanan dari pintu
masuk. Hanya ada tangga untuk naik ke atas, tidak ada lift seperti tempat
tinggalku.
Napasku
ngos-ngosan tanda tidak pernah olahraga. Aku merasakan jantungku seperti
berhenti. Bukan karena capek naik tangga, tapi karena berada di sini aku lebih
merasa berada di asrama dibandingkan dengan tempatku tinggal sekarang. Aku
belum pernah melihat mahasiswa dengan status beasiswa tinggal di hotel.
Setidaknya tidak dari referensi teman-teman dan saudaraku yang sudah duluan
kuliah ke luar negeri dengan status beasiswa.
Di
depan pintu kamar 411, aku berdiri tegak. Memandang sekeliling. Lorong panjang
ini benar-benar menunjukkan asrama. Lantainya tidak dialasi karpet berbulu
lagi. Lampunya terang sepanjang lorong. Benar. Inilah asrama yang kumaksud dan
ada dalam pikiranku.
Kuketuk
pintu kamar 411, seseorang membuka tapi bukan Margareth. Dia seorang gadis
berkulit pucat dengan beberapa jerawat di wajahnya. Matanya agak sipit dengan eyeliner melengkung. Agak heran dia
melihatku.
“This is Margareth’s room,
right?” tanyaku memastikan. Dia menyipitkan mata. Bingung
dengan bahasa Inggrisku atau memang tidak mengenal Margareth. Sial, aku lupa
harus mengingat nama mandarin di sini.
“Oh,
Olivia. Please, come in. Masuk,
masuk!” Margareth memanggilku dengan bahasa Inggris dan Melayu yang dicampur.
Aku
masuk dan mataku langsung menyapu sekeliling. Wow! Ini adalah asrama. Kamarnya
persis dalam bayanganku, bahkan lebih bagus. Ada dua tempat tidur kayu berwarna
putih gading dengan spring bed ukuran
lajang. Spreinya juga putih dengan selimut yang juga putih. Teman sekamar Margareth
sudah mengganti sepreinya dengan motif bulan bintang warna royal blue.
“Kami
sedang sibu-sibuk saja. Arrange the room
for large look,” jelas Margareth tanpa aku tanya. “By the way, which one is your room? How about your roommate? Which
country she comes from?”
Pertanyaan
Margareth yang begitu menodong membuat kepalaku semakin sakit. Aku menarik
napas, “itulah masalahnya. Kamarku bukan di sini, tapi di hotel international students. The room is totally
different. Aku rasa tidak mungkin aku mendapatkan kamar seperti itu. Aku
kan beasiswa.”
Margareth
mengangguk-angguk. Aku terus bercerita, menjelaskan analisaku tentang kamar
itu. Keraguanku tinggal di situ. Banyak lagi yang aku ceritakan kepadanya.
Margareth
membuat satu kesimpulan, “Olivia, all the
room is full. Di sini pun full. Mereka
menempatkan you di kamar hotel for temporary lah. Maybe you kena bayar tambah
nanti. Our stipend membayar hanya penuh
dan sisanya you kena bayar.”
Dhuar!
Rasanya seperti ada petir yan tiba-tiba menyambar di atas kepala. Aku tidak
menduga akan mendapat jawaban seperti ini. Bahkan sampai aku pulang pun, aku masih
memikirkan kamar hotel itu. Darimana aku mendapatkan uang untuk membayar
selisih biaya kamar hotel yang tidak sedikit itu. Kepalaku pusing sekali.
Aku
masuk ke kamar, pintu kamar mandi yang terletak di sisi kiri pintu masuk
terbuka. Aku melongok sekilas ke kamar mandi. Seseorang sedang berdiri menghadap
cermin wastafel.
Aku
punya roommate?
0 Komentar