The Room (Part 2): Kamar Hotel

 Aku berada di hotel. Benar-benar hotel. Di sisi kiri pintu masuk ada kamar mandi dengan wastafel, shower, dan kloset duduk. Airnya mengalir lancar. Ada air panas dan dingin. Klosetnya tidak sumbat, shower juga lancar. Lampu terang, ada cermin besar di depan wastafel. Aku bukan saja bisa melihat gigiku setelah menyikat gigi, aku bisa berselfie dengan beberapa angle sekaligus. Ada tong sampah juga di bawah wastafel.

Di sisi kanan pintu ada lemari yang menempel ke dinding. Sama seperti kebanyakan hotel lainnya. Maju sedikit, ada TV tabung berukuran standar dengan rak yang bisa diisi di bawahnya. Ada meja rias yang lebar lengkap dengan kursinya. Meja rias ini dilengkapi dengan tiga laci lebar. Di bawah meja rias ada tong sampah juga.

[Photo: Pexels]

Ada tempat seperti balai-balai. Biasanya aku akan meletakkan koper di atasnya kalau menginap di hotel. Di sini juga bisa duduk sambil bersandar sambil menatap keluar jendela. Meskipun tidak perlu selebay itu. Ada dua buah sofa empuk dengan meja bulat di sini. Lalu twin bed dengan seprai putih bersih. Di antara kedua spring bed itu ada nakas  dengan lampu kembar di atasnya. Lampu itu bisa dinyalakan hanya satu saja. Nakasnya berfungsi untuk mengatur elektronik di kamar. Termasuk menyalakan TV.

Tidak mungkin ini kamarku. Kegalauan mulai mengusik.

Kuletakkan koper di bawah meja rias. Kuambil perlengkapan mandi, lalu membasuh diri setelah lelah. Usai mandi air hangat, badan lebih segar. Tiba-tiba saja kesepian dan jarak sangat terasa. Hatiku terasa hampa. Kerinduan mulai berperan di situasi yang tidak menyenangkan ini.

Air mataku jatuh. Aku menangis. Tangisan rindu rumah dan ketakutan diminta tambahan bayaran. Uh, andai saja aku tidak memilih untuk kuliah ke luar negeri. Hidup senormalnya di negeri sendiri tanpa membuat susah banyak orang.

Terlanjur. Aku sudah di sini dengan sebuah masalah baru. Aku tinggal di kamar hotel bintang lima.

-o0o-

Bermodal peta, aku mengikuti jalan keluar untuk menghirup udara segar. Sial! Bukan aroma rumput dan aroma mawar yang mekar di sepanjang jalan kampus yang aku dapatkan, tapi aroma khas negara ini. Entah bau apa yang bisa aku sebutkan. Sulit untuk dijelaskan.

Sesekali ada aroma pesing, kecut, asam, apek, dan aroma makanan basi yang tidak jelas. Belum lagi asap dari sangku-sangku yang dibuka di pinggir jalan menguarkan aroma makanan kaki lima khas negeri tirai bambu.

Serius. Aku hampir muntah. Belum lagi para pejalan kaki yang tanpa ragu meludah dahak hijau di jalan. Kakinya seperti kaku melangkah. Demi tujuan utamaku, kucoba abaikan semua itu. Tujuanku hanya satu, yaitu mencari toko ponsel untuk membeli kartu SIM.

Aku cukup percaya diri kalau sistem jual beli kartu di Beijing sama dengan di Indonesia. Sekali lagi aku salah dan perkara ini tidak ada yang menulis di Google. Di negeri ini, kartu SIM tidak dijual sembarangan. Apalagi untuk orang asing seperti aku. Harus ada paspor dan berbagai macam prosedur yang tidak aku mengerti.

“Wo keyi bang ni (aku bisa bantu kamu),” kata laoban (penjual) di toko ponsel ketiga yang aku datangi.

Dia membuka sebuah map dengan lembaran fotokopi yang sangat banyak. Sesekali dia mencocokkan data dengan aplikasi di ponselnya. Dia melakukan untuk beberapa lembar kartu. Sampai dia berhenti pada selembar fotokopian KTP. Pemiliknya lelaki paruh baya. Dia memotret dengan kamera ponselnya, kemudian memasukkan ke dalam aplikasi yang digunakan. Sepertinya mendaftarkan kartu SIM dengan identitas orang lain untukku.

Hanya dalam waktu setengah jam, aku sudah memiliki kartu SIM yang bisa aku gunakan untuk panggilan ke Indonesia, mengirim SMS, dan menerima telepon. Aku tidak mendaftarkan internet, karena ternyata butuh biaya tambahan dengan prosedur yang lumayan tidak ramah untuk newcomer seperti aku.

Selama di toko ponsel itu, aku melirik-lirik koleksi ponsel di etalase. Ponsel android yang mungkin bisa aku miliki dalam waktu dekat untuk mempermudah komunikasi ke Indonesia. Harga termurah berkisar antara 500an RMB lebih. Untuk merek yang sudah dikenal seperti Huawei harganya lumayan pula. Di atas 1000an RMB atau di atas dua jutaan.

Kondisi keuanganku tidak sedang baik-baik saja. Aku memutuskan menunda semua kebutuhan penting tapi tak penting ini. Masih aku bayangkan bagaimana sulitnya emak dan Ayah mencari pinjaman untuk modalku berangkat ke Beijing. Di titik ini aku baru tahu bahwa kuliah dengan beasiswa pun harus memiliki modal sendiri.

Aku pulang ke kampus dengan jalan yang sama ketika aku keluar dari kampus. Di peta tertulis west gate, itu artinya ada gerbang-gerbang lain sesuai dengan arah mata angin. Kampusnya lumayan besar dan aku yakin mudah tersesat tanpa peta.

Aku menemukan asrama 37, menurut informasi singkat yang ditulis di peta, ini adalah student dormitory untuk mahasiswa asing. Aku masuk ke asrama yang penampakannya jauh berbeda dengan tempatku tinggal. Aku menemui zhendai (resepsionis) dan menanyakan kamar Margareth Li, gadis asal Malaysia yang tinggal di Britania Raya dan kutebak tinggal di sini.

Jangan tanya kenapa aku yakin sekali dia tinggal di sini, entah kenapa sesekali instingku diarahkan seperti ini. Aku memilih mengikutinya daripada mengabaikan insting yang berbisik.

Zhendai tidak mengenal siapa Margareth Li. Aku pun tidak tahu nama mandarinnya siapa. Aku hanya mengenal marganya Li, karena di belakang nama Margareth ada kata Li. Aku sering menonton drakor dracin atau dorama Jepang yang memakai nama Inggris tetapi tetap mengggunakan nama keluarga bawaan nama aslinya seperti George Koizumi, Rachel Park, Olivia Kim, Cecily Wang, dan lain-lain. Harusnya Margareth memakai konsep yang sama.

Ni kan! Shi bu shi ta? (Coba kamu lihat! Benar tidak dia?)” tanya zhendai dengan bahasa mandarin yang cukup cepat. Aku hampir tidak mengerti apa yang diucapkan.

Aku mengangguk. Zhendai menyebut nomor kamar Margareth, aku tidak paham. Lantas dia menulis di secarik kertas. Kamar nomor 411. Aku langsung masuk ke lorong menuju tangga sebelah kanan dari pintu masuk. Hanya ada tangga untuk naik ke atas, tidak ada lift seperti tempat tinggalku.

Napasku ngos-ngosan tanda tidak pernah olahraga. Aku merasakan jantungku seperti berhenti. Bukan karena capek naik tangga, tapi karena berada di sini aku lebih merasa berada di asrama dibandingkan dengan tempatku tinggal sekarang. Aku belum pernah melihat mahasiswa dengan status beasiswa tinggal di hotel. Setidaknya tidak dari referensi teman-teman dan saudaraku yang sudah duluan kuliah ke luar negeri dengan status beasiswa.

Di depan pintu kamar 411, aku berdiri tegak. Memandang sekeliling. Lorong panjang ini benar-benar menunjukkan asrama. Lantainya tidak dialasi karpet berbulu lagi. Lampunya terang sepanjang lorong. Benar. Inilah asrama yang kumaksud dan ada dalam pikiranku.

Kuketuk pintu kamar 411, seseorang membuka tapi bukan Margareth. Dia seorang gadis berkulit pucat dengan beberapa jerawat di wajahnya. Matanya agak sipit dengan eyeliner melengkung. Agak heran dia melihatku.

“This is Margareth’s room, right?” tanyaku memastikan. Dia menyipitkan mata. Bingung dengan bahasa Inggrisku atau memang tidak mengenal Margareth. Sial, aku lupa harus mengingat nama mandarin di sini.

“Oh, Olivia. Please, come in. Masuk, masuk!” Margareth memanggilku dengan bahasa Inggris dan Melayu yang dicampur.

Aku masuk dan mataku langsung menyapu sekeliling. Wow! Ini adalah asrama. Kamarnya persis dalam bayanganku, bahkan lebih bagus. Ada dua tempat tidur kayu berwarna putih gading dengan spring bed ukuran lajang. Spreinya juga putih dengan selimut yang juga putih. Teman sekamar Margareth sudah mengganti sepreinya dengan motif bulan bintang warna royal blue.

“Kami sedang sibu-sibuk saja. Arrange the room for large look,” jelas Margareth tanpa aku tanya. “By the way, which one is your room? How about your roommate? Which country she comes from?”

Pertanyaan Margareth yang begitu menodong membuat kepalaku semakin sakit. Aku menarik napas, “itulah masalahnya. Kamarku bukan di sini, tapi di hotel international students. The room is totally different. Aku rasa tidak mungkin aku mendapatkan kamar seperti itu. Aku kan beasiswa.”

Margareth mengangguk-angguk. Aku terus bercerita, menjelaskan analisaku tentang kamar itu. Keraguanku tinggal di situ. Banyak lagi yang aku ceritakan kepadanya.

Margareth membuat satu kesimpulan, “Olivia, all the room is full. Di sini pun full. Mereka menempatkan you di kamar hotel for temporary lah. Maybe you  kena bayar tambah nanti. Our stipend membayar hanya penuh dan sisanya you kena bayar.”

Dhuar! Rasanya seperti ada petir yan tiba-tiba menyambar di atas kepala. Aku tidak menduga akan mendapat jawaban seperti ini. Bahkan sampai aku pulang pun, aku masih memikirkan kamar hotel itu. Darimana aku mendapatkan uang untuk membayar selisih biaya kamar hotel yang tidak sedikit itu. Kepalaku pusing sekali.

Aku masuk ke kamar, pintu kamar mandi yang terletak di sisi kiri pintu masuk terbuka. Aku melongok sekilas ke kamar mandi. Seseorang sedang berdiri menghadap cermin wastafel.

Aku punya roommate?

Aku tidak sanggup menyapa. Aku langsung ke ranjang dan memejamkan mata. Sebelum mataku benar-benar menutup, aku masih melihat roommate yang tadi di kamar mandi berdiri di dekat TV. Rambutnya lurus sedada, wajahnya sangat Asia, matanya agak sedikit sipit. Lalu semuanya hilang dari pandangan. 

Posting Komentar

0 Komentar