The Room (Part 1): Arrival

 Aku tiba terlambat, asrama penuh. Aku harus mencari kamar di luar kampus. Begitu kata Cecily Wang yang bertugas di meja registrasi ketika pendaftaran ulang. Aku tidak berani mencari kamar di luar kampus karena aku sendirian. Benar-benar sendirian dalam arti yang sebenarnya.

Aku tidak punya kenalan. Bahasaku juga limited edition. Sungguh, kondisi ini membuatku menangis di hari pertama datang ke Beijing. Aku masih shock dengan guncangan hebat pesawat, pendaratan darurat di Sepang, ketinggalan pesawat, ditipu supir taksi, terlambat daftar ulang, dan kekurangan uang kas. Sekarang masalahku bertambah. Tidak ada kamar kosong.

Kamar tidur
[Photo: Pexels]

Lelaki yang menyapaku begitu selesai mengurus dokumen di bangongshi (kantor) memberi solusi tinggal di asrama yang sama dengannya. Dia malah menarik koperku dengan senang hati. Aku tahu dia berniat baik, tapi alarm bahaya di kepalaku terlanjur berbunyi. Aku menolak. Dia tidak memaksa.

Sekarang aku menyesal menolak tawarannya. Sekarang aku duduk di bawah pohon cemara seorang diri dengan dress putih motif bunga kumpul bagian bawah yang sudah basah oleh keringat. Aku ingin menangis, tapi masih mempertimbangkan rasa malu.

Beberapa mahasiswa yang tampaknya juga anak baru berlalu lalang dari bangongshi dengan pakaian santai dan bahasa tubuh sama santainya. Mereka punya teman, sudah dapat kamar, dan sudah mulai beradaptasi. Sementara aku? Tidak ada yang bisa aku hubungi dan tanyai. Satu-satunya petunjukku adalah peta yang dicetak dalam dua bahasa, Inggris dan Mandarin.

Bermodal bahasa Inggris yang pas-pasan, aku melihat map dan mencari tulisan yang dormitory atau student residence, atau apa saja yang mengarah ke sana. Tidak ada tulisan apapun di sana. Hanya ada kata international centre yang maksudnya sungguh ambigu.

Aku harus ke asrama. Aku harus tinggal asrama. Bagaimanapun caranya aku harus menemukan cara menemukan jalan ke asrama. Satu-satunya tempat yang cocok untuk ditanyai adalah lelaki dengan seragam bao’an (satpam). Akan tetapi bahasaku... ah, peduli amat! Aku punya cara berkomunikasi secara nonverbal untuk menanyai.

International Centre dikenal juga sebagai asrama mahasiswa asing (Gedung No. 21)
[Photo: cuc.edu.cn]

“Qingwen (numpang tanya),” sapaku. Serius! Ini satu-satunya sapaan yang aku tahu dalam bahasa mandarin selain ni hao. Agak nekat aku bertanya, “xuesheng de jia zai na li? (Rumah mahasiswa dimana?)”

Bao’an agak bingung. Dia malah mengeluarkan kalimat ‘hah’ yang terdengar nyeleneh di kupingku. Sejenak dia berpikir maksudku. Lalu temannya berkata dalam bahasa mandarin yang sangat cepat kepada bao’an yang aku tanyai.

“Ni de yi shi shi sushe shi ma? (Maksud kamu asrama, ya?)” tanyanya. Alhamdulillah, kalimat ini masih bisa aku pahami.

“Dui (benar),” jawabku semangat. Meski Cuma itu yang aku pahami, aku merasa sudah mampu berbicara dengan bahasa mandarin.

Kalimat selanjutnya aku mati rasa. Mataku hanya menangkap mulutnya yang megap-megap. Tidak satu kalimatpun aku tangkap sebagai jawaban. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan.

Gerbang depan tempat aku bertanya pada bao'an.
[Photo: cuc.edu.cn]

Tiba-tiba saja aku ingat dengan peta yang diberikan dalam map setelah kembali dari bangongshi tadi. Aku mengeluarkan peta dan menunjukkan pada mereka. Pertanyaanku sangat minimalis, “zai na li? (Dimana?)”

Maksudku asrama letaknya dimana. Untungnya bao’an yang paham maksudku juga tahu pertanyaanku tentang asrama. Dia melihat peta dan menunjukkan sebuah gedung dengan keterangan international center di sana. Gedung dengan nomor 21.

“Women zai zer (kita di sini),” tunjuknya sambil menjelaskan bagaimana. Dia juga menunjukkan jalan yang harus aku lalui adalah jalan luas di depan kami. Lalu berbelok dan entah apalagi yang dia katakan. Aku hanya mengangguk-angguk saja tanpa mengerti.

Aku bisa bertanya pada orang lain lagi kalau nanti tersesat. Begitu pikirku. Setelah berkata xie xie (terima kasih), aku berjalan mengikuti jalan yang ditunjuk pada peta. Aku memastikan jalanku sudah benar. Nomor di gedung yang terlihat juga tepat.

Di depan asrama aku berdiri agak lama. Ada bebepa anak tangga yang harus dinaiki sebelum memasuki pintu kaca yang bersih seperti tanpa kaca. Aku tidak yakin itu asramanya. Terlalu mewah untuk disebut asrama.

Gedung rektorat Communication University of China
[Photo: cuc.edu.cn]

Agak lama aku berdiri. Memastikan dan meyakinkan diri kalau aku tidak salah masuk. Beberapa mahasiswa asing dengan penampilan casual masuk melewati pintu kaca dengan santainya. Baru aku percaya diri untuk masuk ke dalam dengan bismillah dalam hati.

Di tengah ruang lobi yang luas aku kembali meragu. Ini hotel, bukan asrama. Ada empat orang perempuan dengan seragam fuchsia berdiri di balik front desk. Ada seorang lelaki berwajah mirip Vic Zhou yang memerankan Hua Zhe Lei di drama Taiwan Meteor Garden. Kali ini aku benar-benar tersesat dalam krisis percaya diri.

Mereka berbicara bahasa mandarin, tapi tidak satu katapun aku pahami. Begitu melihatku mereka menyapa dengan sapaan ni hao. Kata yang satu ini aku tahu artinya.

Lalu aku mengeluarkan fotokopian admission notice dan lembar visa. Aku katakan kalau aku mahasiswa baru dan butuh kamar. Aku baru datang karena pesasat delay dari Kuala Lumpur. Semuanya aku sampaikan dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah.

“Wo ting bu dong (aku nggak ngerti),” kata perempuan yang wajahnya paling senior di antara lima orang zhendai (resepsionis) itu. Semangat dan nyaliku langsung mencelos. Rasanya energi dan otakku yang bekerja keras menyusun kosa kata membentuk kalimat sia-sia saja.

“I need a room,” kataku singkat. “Wo yao fangjian (aku mau kamar),” kataku lagi. Dua bahasa sekaligus.

“Meiyou a (nggak ada lagi),” kata perempuan itu lagi. Oh, Tuhan! Aku ingin menangis.

Zhendai lain membuka buku daftar tamu dan melihat beberapa nama di sana. Dia menunjukkan pada zhendai ini dan mengatakan sesuatu. Hua Zhe Lei mengambil fotokopian admission notice dan membawa ke suatu ruangan. Aku menunggu keajaiban apa lagi yang akan terjadi.

Seorang mahasiswa lain datang ditemani ibunya. Dia menarik koper warna pink terang dengan tas ransel mungil warna merah. Zhendai berbicara lembut dengannya. Ternyata meminta tolong untuk menjelaskan beberapa hal terkait asrama kepadaku.

My name is Venus from Hong Kong,” katanya memperkenalkan diri. Logat bahasa Inggrisnya terdengar seperti kumur-kumur. Aku masih belum mengerti. “So, this zhendai need my help to explain something to you.”

Aku mengangguk saja. Dia menjelaskan bahwa aku harus membayar yajin (uang jaminan) sebesar 1000 RMB untuk menempati kamar. Aku mulai galau, katanya kamar asrama gratis, kan?

But, I got scholarship and school will pay for me,” kataku mulai putus asa. Uang kas di dompetku tidak sampai 1000 RMB. Bahkan kurang dari 500 RMB setelah kena palak supir taksi dari bandara ke kampus.

Venus agak bingung, mungkin dia sama sepertiku yang sulit mencerna bahasa Inggrisnya berlogat Hong Kong. Dia pun sulit memahami bahasa Inggrisku yang berlogat Aceh atau Indonesia. Dia berkata sesuatu pada zhendai terkait kalimatku yang mengatakan beasiswa.

“Wo zhidao (aku tahu),” kata zhendai. Dia menjelaskan hal lain pada Venus.

“Semua tongxuemen (teman-teman mahasiswa) yang beasiswa juga wajib membayar yang beasiswa juga wajib membayar yajin. Nanti akan dikembalikan saat kamu keluar dari asrama,” katanya menyambung penjelasan zhendai.

“Boleh kasih setengah dulu?” tanyaku. Aku mengambil lima lembar uang merah bergambar Mao Ze Dong dari dalam amplop coklat. Ini pemberian dari bangongshi saat aku mendaftar ulang tadi. Katanya arrival money. Ada juga yang mengatakan welcome money.

Zhendai menolak uangku. Dia berkata, “kasih sekalian saja setelah kamu punya uang. Akhir bulan atau awal bulan.” Venus yang menerjemahkan untukku.

Aku mengangguk setelah mengucapkan xie xie (terima kasih). Zhendai memberiku selembar kartu seukuran ATM. Ada tempelan stiker bertuliskan A409 di sana. Warnanya hijau dan persis seperti kartu hotel kebanyakan.

“Kamarmu di lantai empat, gedung A. Masuknya lewat lift ini atau tangga,” kata Venus. Dia menunjukkan posisi elevator. Masuk dari pintu kaca, belok kanan. Elevatornya aktif oleh penghuni yang keluar masuk.

Aku mengangguk dan pamit untuk ke kamar. Aku masuk ke elevator sendirian, menekan tombol nomor empat dan membiarkan benda kotak itu membawaku ke lantai empat. Pintu elevator terbuka, aku keluar. Sesaat aku tercengang dan tidak percaya.

Aku berada di lorong berlapiskan karpet tebal warna biru tua. Di sisi kiri dan kanan berjajar kamar-kamar dengan nomor berwarna emas. Pintu-pintu kayu berwarna coklat tampak kokoh dan elegan.

Ini asrama?

Aku mulai khawatir. Tidak mungkin asrama sebagus ini. Aku justru takut untuk tinggal di sini. Bagaimana kalau mereka meminta uang tambahan karena tanggungan untuk asrama tidak cukup? Bagaimana kalau aku salah? Dan seluruh pertanyaan bagaimana kalau keluar masuk dari kepalaku.

Kuberanikan diri untuk mencari kamarku. Sepanjang melewati lorong, lampu-lampu menyala karena sensor gerak. Betul-betul secanggih hotel bintang empat di Banda Aceh. Aku mulai khawatir begitu menyentukan kartu di depan gagang pintu. Lampu hijau menyala dan aku bisa masuk ke kamar.

Aroma pengap menyambut. Detak jantungku berdebar kencang. Apa yang aku lihat benar-benar membuatku lemas. Kedua tungkai kakiku tak mampu menopang ttubuh. Ini tidak mungkin. Tidak bisa dipercaya.

Posting Komentar

0 Komentar