Selama ini, kata ‘hukum’ terdengar berat, menakutkan, dan berbahaya. Khususnya bagi orang awam seperti saya yang tidak memahami delik hukum dan prosesnya. Padahal sekalipun orang awam, memahami hukum sedikit banyaknya akan memberi insight untuk melindungi diri sendiri. Terutama memahami hukum perlindungan anak.
Kenapa penting? Pertanyaan itu tentu merajalela dalam pikiran. Khususnya bagi emak-emak yang nggak sadar hukum dan malas berurusan dengan kata yang satu ini. Ya, karena masalah hukum dianggap masalah yang berat dan butuh pendekatan khusus. Ditambah lagi, Indonesia terkesan sekali sebagai negara kebal hukum. Paham nggak paham masalah hukum pada akhirnya kekuasaan yang akan menang.
![]() |
[Photo: Pexels/Sora Shimazaki] |
Memahami
hukum terhadap perlindungan anak tidak akan salah, kok. Sekalipun kita
masyarakat biasa yang berjanji akan taat dan tidak melanggar hukum, tetapi
memahami dan mengerti soal hukum tidak akan rugi. Terutama hukum terhadap
perlindungan anak. Apalagi belakangan ini banyak sekali kasus-kasus yang
beredar di masyarakat juga memposisikan anak-anak di posisi yang sulit.
Tidak
usah jauh-jauh, masalah sederhana terkait perlindungan anak bisa dilihat di
sekitar kita yang terdekat. Media massa seringkali tidak melindungi hak
penyamaran identitas anak ketika penulisan berita. Bahkan tak jarang media yang
kurang terverikasi dan dilirik oleh netizen di media daring kerap
mempublikasikan foto anak dengan berbagai kasus kepada publik. Secara Kode Etik
Jurnalistik (KEJ), tindakan yang dilakukan oleh media ini salah. Namun
pemberitaan tersebut seringkali masih berlanjut karena tidak ada protes dan
teguran dan pembaca.
Mirisnya
berita tersebut justru di-sharing tanpa
saring oleh orang-orang yang mengenal korban atau pelaku. Akibatnya anak
kehilangan identitas diri dan mengalami trauma yang berat. Lantas, apa peran
hukum dalam melindungi anak terhadap terpaan media?
Anak
sebagai penerus generasi bangsa memiliki hak untuk dilindungi oleh hukum
sebagaimana orang dewasa dengan berbagai masalah lainnya. Perlindungan hukum
anak diartikan juga sebagai upaya perlindungan hukum terhadap kebebasan dan hak
asasi seorang anak yang berhubungan dengan kesejahteraannya. Bila dikaitkan
lagi anak dan media, kerap kali media massa tidak menyamarkan atau memamarkan
identitas anak secara langsung. Hal ini akan membuat anak kehilangan hak
asasinya sebagai seorang anak.
Belakangan,
kasus-kasus perkosaan terhadap anak ataupun pelecehan kerap menghiasi headline media daring. Anak-anak di
bawah umur adalah korban. Wartawan tanpa peduli perkara hukum langsung
memperlihatkan identitas anak. Padahal dampaknya terhadap anak tersebut tidak
baik. Anak yang menjadi korban hendaknya mendapatkan perlindungan dari media
massa.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Perlindungan
hukum terhadap anak yang menjadi korban kejahatan seperti perkosaan dalam
berita media massa sudah diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini jelas menunjukkan bahwa anak memiliki
hak istimewa di mata hukum.
Selain
UU Perlindungan Anak, UU terkait jurnalistik juga melindungi hak anak di mata
hukum. Di antara perlindungan hukum yang diberikan kepada anak adalah: Pasal 48
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 14 dan 29 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012, Pasal 5 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,
dan Pasal 4 dan 5 Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006.
Aturan
yang disusun dalam UU tersebut untuk anak jelas bertujuan untuk memberikan
pemahaman kepada jurnalis atau wartawan
dalam memahami produk hukum, peraturan tentang anak, dan hak dasar anak. Sayangnya,
tidak semua jurnalis memahami aturan dalam penerapan hukum terhadap
perlindungan anak. Salah satu cara agar jurnalis memahami bagaimana melindungi
anak di media massa dengan cara memberikan pelatihan intensif tentang
pembekalan hukum dasar perlindungan terhadap anak bagi jurnalis.
Selama
ini, jurnalis seringkali abai dan tidak menyadari pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan untuk korban anak-anak atau keluarga si anak dengan pertanyaan yang
menimbulkan luka baru atau memicu konflik. Sebagai jurnalis yang handal dan
peka hukum, sudah saatnya jurnalis memahami tata cara dasar untuk mewawancarai
anak.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Hal
ini tentu saja tidak akan terwujud tanpa kerjasama dengan berbagai lembaga
seperti KPAI, KPI, Dewan Pers, dan kepolisian demi pencegahan stigmatisasi
terhadap anak korban kejahatan. Sebenarnya, perlindungan hukum terhadap anak
dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan mudah. Dalam pasal 59
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak sudah diatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
dan lembaga negara lain untuk perlindungan anak. Perlindungan tersebut bersifat
khusus kepada:
1.
Anak dalam situasi darurat
2.
Anak yang berhadapan dengan hukum
3.
Anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi
4.
Anak tereksploitasi secara ekonomi dan
atau seksual
5.
Anak yang diperdagangkan
6.
Anak yang menjadi korban
penyalahgunaan NAPZA
7.
Anak korban penculikan, penjualan, dan
perdagangan
8.
Anak korban kekerasan, baik fisik atau
mental
9.
Anak yang menyandang cacat
10. Anak
korban perlakuan salah dan penelantaran
Hal
ini jelas menunjukkan bahwa anak mendapat perlindungan dalam lingkup yang
jelas. Sementara itu, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,
menentukan bahwa fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan
kontrol sosial. Kontrol masyarakat terahadap pers yang dimaksud adalah dengan
menjaminnya hak setiap orang untuk menggunakan Hak Jawab dan Hak Koreksi.
Jadi,
cukup jelas bahwa media massa juga tidak bisa sembarangan dalam menggunakan hak
menyebarkan informasinya terhadap berita tentang anak. Berdasarkan undang-undang
yang tersebut di atas, anak harus dilindungi dan mendapat perlindungan khusus
dari berbagai UU yang telah dirumuskan pemerintah.
0 Komentar