“Tiga tahun lagi, kita akan bertemu di tempat ini,” kalimat itu tiba-tiba terngiang di kepalaku begitu melihat sebuah kartu pos bergambar Harry Potter dari novel Harry Potter dan Piala Api. Aku mengenalinya, ini tulisan Ant.
Di
sana tertulis dengan rapi tentang pertemuan ini, “Dear Dina, sampai jumpa tiga tahun lagi di jalur gaza.” Ant dan
aku menamai taman belakang lab sebagai jalur Gaza, karena di situ tempat
satu-satunya yang tidak akan pernah dilalui orang normal seperti kami. Aroma
amoniak dari kandung kemih manusia tidak pernah absen menyirami tanah dan
rumput yang tak banyak bertahan. Bahkan bunga bakung yang tumbuh liar pun tidak
mampu menggantikan aroma itu.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Aku
benar-benar melupakan Ant. Bukan saja karena ruang dan waktu telah memisahkan
kami. Kepergian Ant yang mendadak juga membuatku kecewa dan memilih tidak
menunggunya lagi. Aku yang pernah berjuang untuk mendapatkan satu kursi di
universitas yang sama dengan Ant juga tidak lagi memperjuangkan keinginan itu
ketika orangtuaku memerintahkan untuk putar haluan impian.
Aku
tidak menjadi arsitek seperti yang aku katakan pada Ant di jalur gaza. Aku juga
gagal menjadi guru seperti keinginan orangtuaku. Sekarang aku adalah seorang public relation officer di sebuah
perusahaan ponsel terbesar di Asia dengan kesibukan yang tinggi. Aku lupa kami
pernah berjanji bertemu di jalur gaza. Seharusnya pertemuan itu terjadi lima
tahun lalu. Mungkin aku perlu memikirkan janjiku pada Ant delapan tahun lalu.
Meskipun peluang untuk rasa yang sama sudah pasti berlalu bertahun-tahun lalu.
---
Berbekal
cuti tahunan dan bonus liburan yang diberikan perusahaan, aku memutuskan pulang
ke kota penuh kenangan. Pesawat mendarat di kota dingin di tengah Aceh. Hanya
beberapa jam saja, mobil sewaan yang menjemputku sudah membawa kembali ke kota
yang dulunya begitu indah dan asri seperti di film dokumenter pendidikan. Kini
begitu banyak bangunan di sana sini. Kendaraan juga mulai memadati kota
berbukit.
Sebelum
singgah ke hotel, aku memilih mengunjungi sekolah kami. Aku tidak melihat
sekolah kami yang dulu sebagai bangunan sederhana. Sekolah kami dulu sudah
menjelma menjadi gedung tiga lantai dengan warna krem dan hijau lumut. Warna
kesukaan Ant yang sempat dia inginkan sebagai warna sekolah.
Beberapa
bagian sudah dirombak. Untungnya aku masih melihat dua dahan bougenville berwarna jingga dan kuning
sudah tumbuh besar dan rimbun di parkiran. Bunga yang aku tanam dan membuat Ant
pertama kali menyapaku. Ant yang dingin dan pemalu, tidak pernah bicara pada
banyak orang. Anak lelaki yang selalu larut dengan alur cerita novel terjemahan
ternyata luluh hanya pada bougenville
yang aku tanam.
Aku
menelusuri koridor dan mencari tempat yang pernah menjadi tempat rahasiaku
membaca buku. Tidak banyak yang berubah. Hanya lebih bersih dan sudah dipagar.
Beberapa bunga zinnia berwarna warni tumbuh subur tanpa perawatan maksimal.
Dulu di sana dipenuhi bunga bakung putih, burung-burung pipit beterbangan di
pagi hari. Nikmat membaca buku aku dapatkan di sana lebih dari postingan para bookstagrammer yang mencintai alam
sebagai tempat membaca buku.
Jalur
gaza, tempat itu terletak di belakang lab. Tempat pertama kali aku bertemu
dengan Ant ketika dia terlambat datang ke sekolah. Demi menghindari guru piket
dengan penggaris kayu di gerbang utama, Ant memilih mengambil resiko melompati
tembok belakang lab, menghirup aroma pipis dan tak sengaja bertemu denganku.
Aku
tidak percaya cinta pertama. Akan tetapi Ant adalah satu-satunya makhluk di
sekolah yang berhasil membuatku kebat kebit pada pandangan pertama. Padahal Ant
bukanlah idola seperti kebanyakan yang ditaksir remaja seusiaku dulu. Dia hanya
cowok nerd yang berwajah pucat dan
bertubuh ceking. Terkesan aneh dan tidak gaul sama sekali. Bahkan banyak
cewek-cewek yang tidak pernah membaca keberadaannya.
Jalur
gaza masih ada. Ditanami bunga bakung putih dan tidak lagi beraroma pesing. Aku
menghirup aroma bunga bakung dalam-dalam. Segarnya udara dataran tinggi dan
sejuknya cuaca membuatku seperti terpental ke masa lalu. Aku merindukan
masa-masa ketika kami bertukar novel dengan Ant di sini.
“Lima
tahun terlambat dari janji di kartu pos itu, Dina.” Sebuah suara mengejutkan
dan membuatku berpaling. Seorang lelaki bertubuh ceking dengan kulit masih
sepucat kapas berdiri di sana. Dari gayanya berpakaian, aku bisa menebak bahwa
dia seorang guru. Mungkin dia kembali ke sekolah ini untuk mengajar.
Mulutku
terkunci rapat. Tidak bisa berbicara sepatah katapun. Ant tersenyum, masih
senyum yang sama seperti delapan tahun yang lalu. Hanya saja, aku sudah bisa
menemukan dengan jelas kerut di sudut matanya. Tanda usia sudah memisahkan kami
bertahun-tahun.
“Maaf,
aku terlambat,” kataku merespon.
“Tidak
apa-apa. Aku selalu ke sini, tapi tidak pernah melihatmu. Hari ini aku sudah
melihatmu. Hatiku lebih lega. Tidak perlu datang lagi kemari. Terima kasih
sudah menepati janji, Din.” Ant tersenyum dingin. Dia berbalik dan pergi.
Aku
berjalan cepat mengikuti Ant. Dia berjalan cepat melewati lorong-lorong. Aku
bingung mencarinya kemana lagi. Sekolah ini sudah berbeda. Kehilangan jejak Ant
membuatku lelah. Iseng saja aku berdiri di depan sebuah ruang yang ternyata
ruang guru.
“Dina,”
seseorang menyapaku dengan suara terkejut. Aku berbalik. Rifdalita, temanku di
sekolah dulu. Satu-satunya orang yang tahu aku memiliki perasaan istimewa pada
Ant. Aku tersenyum dan melebarkan tangan. Kami berpelukan lama.
Rifda
mengajakku ke ruang guru. Dia menyuguhkan kopi racikan enak. Suguhannya
mengingatkan aku pada Ant. Ingin sekali aku bertanya tentang Ant, tapi tidak
enak dengan Rifda. Masa baru bertemu langsung tanya gebetan masa lalu. Siapa
tahu Ant sudah menikah. Mungkin saja dia menikah dengan Rifda. Tidak ada yang
tidak mungkin, bukan?
Mataku
mengitari area dinding. Ada foto close up
para guru di sana. Bagian paling atas sudah diberi pita, tanda kiprahnya di
dunia pendidikan sudah berakhir. Sudah meninggal dunia. Satu persatu namanya
mengisi benakku. Ada yang aku kenal, banyak yang tidak. Eh, tapi...
“Anthony
Ricardo?” tanganku bergetar. Keringat dingin muncul di permukaan kulit. “Maksudnya
apa, Rif? Kenapa fotonya dipita?”
“Kamu
belum tahu? Ant meninggal beberapa bulan lalu karena Covid.”
Kakiku
melemas. Tidak bisa bergerak lagi. Aku baru saja melihat Ant di jalur gaza.
Apakah dia sengaja menuntunku ke ruang guru untuk memberitahu keberadaannya?
0 Komentar