Bencana itu datang menghantam kepribadianku sejak dua bulan lalu. Alasan simpel yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya akan terjadi. Finansial.
Kupikir aku akan
terbebas dari kebebasan finansial secepatnya. Khususnya setelah menikah. Latar
belakangku cukup bagus untuk mendapatkan sebuah posisi di mana saja. Pengalaman
bekerja di beberapa perusahaan besar sebagai tenaga interenship juga merupakan nilai plus yang ingin dimiliki oleh
siapa saja.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Tentu bukan rahasia
umum sekarang. Di Indonesia, banyak orang yang membayar mahal untuk kesempatan
magang di luar negeri. Keadaan ini membuat nalarku bekerja. Pekerjaan bukan
untuk orang yang tidak punya uang untuk mendapatkan uang. Pekerjaan untuk orang
yang punya uang untuk membeli kesempatan mendapatkan uang.
Berat, semakin berat,
tambah berat setiap harinya.
Tidak pernah terlintas
dalam hidupku adanya pelarangan bekerja untuk perempuan yang sudah menikah
meskipun sudah memiliki banyak pengalaman bekerja. Terlebih lagi jika sedang
kondisi hamil. Tidak ada perusahaan yang mau memberiku kesempatan walaupun
hanya tukang ketik.
Ada rasa tidak adil.
Tentu saja.
Terlebih ketika aku
pernah berada di garis finansial yang aman untuk menikmati hidup. Jika ingin
berlibur, tinggal buka aplikasi pembelian tiket, pilih penerbangan, bayar pakai
internet banking dan bersiap untuk
penerbangan. Ada email promo outfit
baru, tinggal klik, baca uraian dan putuskan untuk beli. Tinggal klik dengan
aplikasi di internet banking dan
menunggu barang di antar ke rumah atau kantor.
Kini, semua kebebasan
finansial itu terbang entah kemana. Merongrong seperti memintaku untuk membayar
semua foya-foya yang pernah aku nikmati dengan status ikat pinggang
sekencang-kencangnya untuk makan bulan depan.
*
Pekerjaan menjadi ibu
rumah tangga adalah pekerjaan yang paling lelah. Aku tidak pernah bekerja lebih
capek dari sini sebelumnya. Aku dikejar deadline,
aku mengeluh capek. Aku menyalahkan siapa saja yang menjadi penghambat. Benar.
Hanya itu saja. Bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga tidak ada deadline, tapi terus berlanjut itu-itu
saja. Goal-nya? Ketika bisa tidur
lelap. Itulah pembahasan kami hari ini ketika Dianita dan Kalila mengunjungiku.
“Sebagai istri yang
menempuh pendidikan tinggi, kita harus kreatif. Memang sekarang belum ada yang
namanya kreativitas untuk bekerja. Tapi suatu saat akan muncul sendiri, La.”
Sayup-sayup aku mendengar suara Dianita ketika mengangkat nampan berisi air ke
depan.
Dianita dan Kalila
tiba-tiba saja menghubungiku untuk bertemu. Mereka bilang, kangen. Ingin
mengobrol dengan pengantin baru dan calon ibu seperti aku. Sejenak aku merasa
tersanjung, di waktu berikutnya aku tidak ingin terlalu bahagia. Dianita dan
Kalila bisa saja sewaktu-waktu membuat aku bukan siapa-siapa.
Aku tidak asal ngomong
soal ini. Aku kenal benar Dianita dan Kalila. Kalila adalah teman sekelasku.
Kami cukup dekat dan tergolong teman sekomplotan. Tapi dia juga orang yang
selalu melihatku rendah dan selalu mengometari keberuntunganku di balik
panggilan ‘cinta’ di mulutnya.
Dianita bukan teman
sekelasku. Sejak aku berangkat ke New Zealand untuk kuliah, tiba-tiba saja dia
menjadi cukup dekat denganku. Dia menjadi teman yang luar biasa penolongnya. Ia
menawarkan antar jemput ke bandara, penginapan di rumahnya, makan gratis di
restauran suaminya. Semuanya menjadi berbalik dari apa yang pernah terjadi di
masa kuliahan sarjana dulu.
“Lagi ngobrolin apa, nih. Sepertinya asyik,” Sapaku sambil
mendatangi mereka dengan senampan minuman, kue kering dan tisu. Aku sudah
mendengar sedikit perbincangan mereka.
“Tidak ada apa-apa,
say” Jawab Kalila cepat.
Aku tersenyum,
memaklumi ketertutupan Kalila soal apa yang sedang direncanakannya. “Bagaimana
bisnis jilbabmu, say?” kulirik Kalila yang tersenyum kecut. Mungkin tidak
menyangka kalau aku mengetahui perjalanan bisnis kecilnya itu.
Tentu saja aku tahu.
Aku pengguna Instagram, Kalila
mengubah akun pribadinya menjadi akun bisnis. Mungkin dia mengira aku tidak
pernah mengikuti Instagram-nya karena
tidak pernah memberi hati merah atau berkomentar di sana. Tapi bukan berarti
aku tidak mengikuti perkembangan teman-temanku.
Justru yang tengah
berjuang itu adalah Dianita. Terlahir dari orang tua kaya, menikah dengan pria
kaya dan mengikuti kesengsaraan bersama saat suaminya sedang berjuang
membesarkan nama restauran-nya. Aku… entahlah. Mungkin aku adalah perempuan
paling pasrah yang pernah terlahir di dunia. Apa saja yang suamiku berikan, aku
menerimanya dengan lapang dada. Tidak mengeluh, tidak pula mencoba melebihi
gajiku dengan gaji suamiku.
Melihat mereka,
tiba-tiba aku ingin sekali melanjutkan bisnisku yang pernah menjaya sebelum ke
New Zealand. Jualan sprei secara online. Barangku laris manis dan pendapat yang
aku terima selama kurang dari setahun bisa mengurus visa untuk ke New Zealand.
“Alhamdulillah lumayan
lancar, lah. Maklum, baru mulai dan
iseng saja. Lagipula aku nggak fokus, Vid.” Cerita Kalila.
“Ada rencana buka toko
sendiri?” tanyaku. Tidak mungkin seorang Kalila punya cita-cita kecil seperti
ini. Jawaban Kalila hanya menggedikkan bahu yang berarti tidak tahu. “Lihat
nanti saja kalau rezekinya lancar.”
Dulu aku tidak pernah
bercita-cita punya toko sprei sendiri. Berjualan online saja sudah cukup. Tidak
ada resiko bangkrut ketika toko sudah bangkrut atau sejenisnya.
Aku terlahir di dalam
keluarga pedagang. Aku besar dengan mengamati kedua orangtuaku berbisnis dan
mendapatkan pendapat yang pasang surut. Kadang banyak, kadang tekor. Itulah
bisnis. Kedua orang tuaku pula yang menyarankan cukup bertahan di online dan
fokus pada satu saja. Apalagi kalau aku berencana bekerja sebagai karyawan di perusahaan
tertentu.
Kini aku sudah putuskan
kembali. Aku tidak mungkin bekerja di luar rumah. Aku akan fokus di dalam rumah
saja. Kembali berjualan online. Awalnya aku akan menjual jilbab desainku
sendiri. Setelah mengetahui Kalila menjual hijab, sepertinya sulit untukku
memulai bisnis yang sama. Dia akan berpikir kalau aku mencuri idenya atau
sejenisnya.
“Setelah menikah kita
memang harus lebih kreatif, Vidya. Kamu kan sekarang sudah menikah. Kamu juga
harus pikirkan pekerjaan praktis untuk membantu dapur mengepul. Nggak mungkin, lah, kamu minta sama suami semuanya. Garam
habis, jangan sampai menunggu suami pulang dulu untuk beli. Keterlaluan sekali
jka seorang istri seperti itu,” tutur Dianita.
Deg! Ini seperti sebuah
sindiran untukku yang belum bekerja dan tidak melakukan gebrakan apa-apa.
“Aku juga terpikir
untuk kembali ke bisnis yang dulu sempat aku jalani. Jualan sprei online.
Permasalahannya aku tidak punya modal besar untuk mengambil sprei dengan jumlah
banyak. Minimal pembelian kan 50 set” kataku menunjukkan sedikit taringku.
Aku bisa melihat
keterkejutan Dianita dan Kalila. Mereka tidak pernah menyangka kalau aku punya
bisnis online juga. Pernah punya. Mungkin saja keduanya berpikir kalau aku
sedang membual. Karena aku seorang pembual besar.
Percakapan kami
berlangsung biasa-biasa saja. Hanya bercerita gebrakan dan dukungan suami
masing-masing untuk menjalani bisnis. Dianita mengatakan kalau ia ikut kursus
membuat kue di Singapura dan kemudian bisa membuat kue untuk dijual di toko
suaminya.
Kalila tentu aja terus
bercerita soal bagaimana suaminya mendukung penuh dirinya dengan menawarkan
toko dan desain web yang luar biasa untuk kemajuan toko onlinenya. Kalila
berkata lagi, dia menolak. Karena dia tidak mau menyusahkan atau menggunakan
suaminya dalam hal ini.
Aku hanya diam.
Sekalipun suamiku tidak berkomntar apa-apa. Bukan berarti dia tidak mendukung.
Aku tidak perlu menceritakan goal
yang aku raih kepada Dianita dan Kalila. Jika mereka berteman denganku tapi
masih seolah melihatku sebagai musuh, kenapa aku harus menunjukkan sisa hidupku
padanya?
*
Bulan keenam setelah
pertemuan dengan Kalila dan Dianita. Aku mulai memperluas jaringan bisnisku
dengan mengajak temanku serta dalam berbisnis. Aku katakan pada mereka bahwa
apa yang mereka lakukan tidak akan sia-sia.
Terlebih karena mereka
punya kantor. Perempuan-perempuannya jarang buka internet. Mereka bisa
berjualan dengan harga yang fantastis. Baik kredit maupun cash. Mereka senang sekali.
Aku bisa mencapai laba
yang cukup lumayan. Tepat ketika aku akan melakukan order untuk yang kesekian
kalinya pada supplier, sebuah sms yang
membuat aku terkejut membuat semua persendian lemas.
Kalila mengirimkan
pesan singkat dengan sadis.
Vidya,
aku nggak nyangka kalau kamu bermain dengan licik. Apa berkahnya merebut rezeki
orang?
Apa?
Kutatap tumpukan sprei
di sudut ruangan yang siap aku kirim. Sedih. Galau.
Bukankah Tuhan telah
membagikan rezeki kepada ummat-nya? Tidak perlu ragu karena rezeki tidak akan
pernah tertukar. Tapi yang aku pahami saat ini berbeda. Ya, Tuhan memang sudah
membagikan rezeki pada ummat-Nya dengan adil. Kemudian Tuhan akan memberikan ujian
dari orang-orang dekat yang kita tidak akan kenal.
0 Komentar