Seperti yang sudah diduga, dampak bermain ponsel untuk si abang memang banyak negatifnya. Persis seperti yang dilansir oleh The Asian Parents, si abang yang berusia empat tahun jadi malas tidur. Pikirannya ke ponsel terus. Pantang diberi sekali, dia juga kecanduan. Selain itu dia jadi lebih agresif setelah bermain ponsel lebih dari satu jam. Paling jelas dan bikin kesal kalau si abang mulai tantrum. Ini benar-benar dampak yang membuat saya kesal seharian.
![]() |
Anak menjadi agresif ketika kecanduan ponsel. [Photo: Pexels] |
Belum
kelar urusan dengan si abang dan pola tidurnya, suami mengajak makan ke Hana
Cafe Jepang yang berlokasi sejauh 25 kilometer dari rumah. Tampaknya suami
tidak pada suasana hati untuk keluar rumah di akhir pekan, tapi dia memaksakan
diri karena terlanjur janji. Alhasil selama makan tidak ada yang menyenangkan.
Sepanjang
perjalanan si abang ngantuk dan menolak tidur. Dia tantrum. Minta pulang ke
luar kota. Dia tidak mau keluar dari mobil. Dampaknya panjang sekali. Dia
menangis sampai maghrib. Setelah mandi, ganti pakaian, dan tidur. Saya sempat
mencuci usai shalat maghrib. Saat menjemur pakaian, si abang dan adik malah
bangun barengan. Suami kewalahan.
Cuaca
Banda Aceh belakangan memang super panas, sampai-sampai suasana kamar seperti
sauna. Kipas angin yang berputar-putar mengirimkan hawa panas, bukan
menyejukkan. Saya meminta suami membawa si adik ke bawah karena kamar kami di
lantai dua. Suami setuju dan menidurkan di ayun.
Si
abang minta dibuatkan susu, tapi tidak mau tidur di kamar atas. Dia mau
berbaring di depan TV sambil nonton Upin Ipin. Itu pun turunnya minta digendong
dan nontonnya ditemani. Sedangkan kerjaan saya menumpuk. Saya sedang menikmati
menjadi ibu, tapi begitu jam-jam ibadah sedang ketat di rumah begini saya galau
juga.
Tangis
menangis antara dua balita dan suami yang kewalahan. Di sini saya mendeteksi
kalau ayahnya anak-anak mengalami baby
blues. Setelah saya lakukan penelusuran, ternyata lelaki juga mengalami baby blues syndrome, lho. Pria mengalami
baby blues syndrome karena rasa
khawatir atas peran sebagai ayah. Dia mulai memiliki tanggung jawab baru dan
merasa kehilangan kebebasan.
Saya
yakin ini yang terjadi. Biasanya ayah anak-anak akan melewati akhir pekan
dengan tidur dan menghabiskan waktu di layar ponsel. menonton film-film
kesukaannya. Sedangkan saat anak-anak mulai tarik suara dia kehilangan waktu
menontonnya. Apalagi jika saya mulai membuka mulut dengan kalimat, “tolong
kerja samanya, dong,” atau “tolong adiknya diamankan dulu.”
Saat
itulah petaka terjadi. Saat sedang mengayun anak, ayun terputus. Si adik bayi
terbanting ke lantai semen. Kemudian gantungan kainnya jatuh, pernya ikutan
jatuh. Tertimpa pas di atas kepala bayi. Saya tidak yakin apa yang menghantam
pelipis kanan dekat mata si bayi. Dia menangis menjerit kesakitan sampai pucat.
Saya pun ikut menangis. Takut sekali.
Suami?
Tentu saja mengamuk dan emosinya meningkat puluhan kali. Sementara si abang
menonton dengan tangis pelan sambil minum susu. Satu persatu orang di rumah mulai
keluar dari kamar. Ibadah mereka terganggu. Saya menangis dan tidak tahu harus
berbuat apa.
Di
saat yang sama berbagai pikiran melintas dalam kepala. Saya mulai kalang kabut
mendengar suara sahut menyahut. Musibah. Bayi menangis satu jam dan saya terus
menggendong dengan posisi memeluk. Tidak mau dibaringkan. Mungkin badannya
masih sakit dan terkejut.
Si
abang kembali ke kamar dalam kondisi menangis. Ada saja yang menjadi
masalahnya. Saya mengembalikan suasana hati kedua anak-anak dengan lelah.
Begitu anak-anak tidur justru saya yang mewek. Ya, berat sekali peran seorang
ibu. Namun hari ini saya seperti diberi panggilan.
Mi, ingatlah hari ini. Semua hal bisa terjadi
sekalipun kamu mengurus kedua anak bersama suami. Harus ada yang mengalah. Harus
ada yang menjadi pemadam kebakaran di hati yang mulai gersang.
Mi, ingatlah hari ini. Menjadi ibu
tidak boleh mengeluh. Tidak boleh katakan capek. Tidak boleh menjadikan
anak-anak sebagai pelampiasan.
-o0o-
Banda
Aceh, 14 Mei 2022
0 Komentar