Mi, Ingatlah Hari Ini (Part 1)

 Saya merasa perlu menulis ini untuk mengingatkan saya pada suatu proses menjadi ibu untuk bayi dan balita. Ya, itu harus. Sekaligus membagi informasi yang saya dapatkan bahwa bukan ibu saja yang mengalami baby blues, ayah juga bisa mengalaminya, lho.

Dimulai dari Jumat malam ketika suami saya pulang kerja dan kami mengantarkan bayi ke bidan ba’da maghrib. Tujuannya untuk memberi imunisasi polio untuk anak karena usianya sudah delapan bulan. Bulan depan sudah tidak bisa lagi diberikan, begitu menurut petunjuk buku merah jambu halaman 48 yang saya baca.

[Photo: Pexels/Ksenia Chernaya]

Dulunya saya selalu membawa ke bidan desa di domisili kami. Paling nggak di posyandu yang dibuka setiap bulannya. Sayangnya, posyandu bulan Mei molor atau mungkin juga ditiadakan karena jadwalnya bentrok dengan hari raya Idul Fitri. Saya sempat menghubungi bidan desa dan katanya vaksin habis. Jadi dia akan menghubungi saya kalau vaksin sudah tersedia.

Saya menunggu seminggu, vaksin tak kunjung datang. Baiklah, saya pikir memang sudah tidak mungkin mendapatkan vaksin gratis untuk bayi saya. Atas saran adik ipar, kami membawa ke bidan yang prakteknya tidak begitu jauh dari rumah. Namun butuh kendaraan dan waktu yang pas juga untuk mendatangi beliau.

“Buat janji dulu, Kak. Bidannya sibuk dan pasiennya banyak. Biasanya habis maghrib bisa lah,” begitu kata adik ipar saya. Saya meminta nomor kontak bidan. Ternyata telepon tidak bisa dihubungi, hanya untuk Whatapp saja. Tidak masalah. Janji tereservasi dan kami berangkat usai maghrib.

Saya sudah khawatir jika bayi saya akan disuntik. Apalagi saya belum makan sejak pagi. Rencananya usai membawa si bayi kami akan mencari makan. Untungnya hanya diberi vaksin tetes dan bayinya cukup koperatif. Obat tidak dilepeh, ditelan semuanya. Kami bisa mencari makan dan membawa serta si bayi.

Dia merengek ngantuk saat kami makan. Selain itu, panas juga iya. Meski warkop terbuka, tapi warkop penuh dan fasilitas kipas angin minim. Selain mengurus bayi yang memang butuh perhatian, abangnya yang berusia empat tahun juga butuh perhatian.

Menurut halodoc, si abang merasa cemburu dengan kehadiran adiknya. Indikasinya ada pada si abang yang tidak mau melepas saya untuk mengurusi adiknya walau sejenak. Meskipun hanya indikasi yang tepat, tetapi cukup memperjelas bahwa si abang cemburu. Si abang lebih rewel dan mencari perhatian. Begitu adik nangis, dia juga mulai berulah.

Tiba di rumah, anak-anak langsung tidur. Saya merasa mendapatkan me time yang super untuk mengisi konten blog yang selama ini nyaris terbengkalai. Untungnya tantangan Ramadan Challenge2022 yang diadakan oleh Blogger Perempuan Network tempo hari cukup membantu saya menghidupkan Oliverial. Akhirnya pencarian Ulfa Khairina muncul kembali di Google dan mengarahkan ke blog saya ini.

Selesai memposting satu review buku Honey Dee yang saya baca, berlanjut untuk mengejar 3000 kata novel terbaru saya untuk platform Cabaca. Ini adalah platform baca novel berkurasi dengan koleksi karya penulis top di dalamnya. Mungkin saya tidak termasuk famous, tapi bahagianya kecipatran bisa gabung di grup yang sama dengan Honey Dee, Achie TM, Ruwi Meita, Indah Hanaco, dan lain-lain.

Mata saya bergelayut kantuk. Saya tidak sanggup melanjutkan bab selanjutnya yang saya targetkan sepanjang 2000 kata saja. Saya memilih mematikan laptop, lantas memilih aktivitas lain sebelum tidur. Membaca novel Daniel Ahmad yang juga diterbitkan oleh Cabaca berjudul Ante Meridiem. Ini novel thriller yang cukup populer di Cabaca belakangan. Tidak kalah populer dengan pendahulunya berjudul Post Meridiem.

Awalnya saya berencana membaca satu dua bab, lalu melanjutkan menonton drama China berjudul Rebirth For You. Saya mulai menemukan ketertarikan menonton meskipun tidak begitu yach... seperti dramayang sanggup saya tonton puluhan kali. Ini cerita lain karena standar drama yang menjadi favorit saya mungkin terlalu tinggi.

Kenyataannya saya terlelap sebelum satu bab selesai terbaca. Entah kapan saya tertidur, tapi saya terjaga ketika suami salat Subuh dan saya tidak sanggup membuka mata. Suami berulang kali membangunkan untuk mendirikan salat dan mempersiapkan anak ikut kelas di Taman Kanak-Kanak dekat rumah. Saya mager karena terlalu lelah. Apalagi belum begitu wajib anak saya untuk masuk sekolah. Saya belum bayar dan masih berencana menyekolahkan si abang di TK dekat rumah itu. Masih sanggup jalan kaki walau zaman sekarang bakalan dilihatin orang dengan tatapan serius.

Setengah sepuluh pagi si abang selesai berberes. Saya tidak lagi sanggup mengantarnya. Rasa kantuk, lelah, dan beban lain selaku emak-emak dua anak mulai terasa. Akhirnya si abang tidak sekolah dengan alasan sebentar lagi kelas bubar dan saya capek jalan kaki ke sekolah. Tidak ada kendaraan nganggur di rumah. Masa iya perjalanan nggak sampai 100 meter harus naik mobil?

Usai berberes si abang, giliran si adik yang berberes. Untungnya usai mandi si adik mulai ngantuk. Dia memilih tidur dan saya bisa menyortir dan menyusun kembali jurnal yang dicetak empat rangkap oleh suami. Jurnal-jurnal itu akan diajukan untuk kenaikanpangkat dosen tahun ini. Syukurlah bisa selesai dengan sedikit tenang meskipun si abang akhirnya menyabotase ponsel saya untuk memainkan game edukasi di yang dia download sendiri. (BERSAMBUNG)

Posting Komentar

0 Komentar