![]() |
[Photo: Pexels/Anton] |
Psikologi komunikasi, dua kata ini pasti tidak asing bagi sebagian besar kita. Terutama yang mengambil jurusan Komunikasi dan jurusan Ilmu Pendidikan. Buku Jalaluddin Rakhmat salah satu pegangan wajib yang terus dibolak balik sampai lecek. Pun demikian, tidak menutup kemungkinan juga untuk umum membaca buku ini. Umumnya konflik bermula dari keseleo lidah saat komunikasi dan kita tidak peka terhadap situasi lingkungan.
Pada
dasarnya psikologi komunikasi digunakan oleh semua kita dalam berbicara dengan
lawan bicara tanpa mengabaikan aspek kejiwaan. Sesuai dengan arti komunikasi
secara umum yang diberikan oleh Gita Sekar Prihanti dalam buku Empati dan Komunikasi (2017), psikologi
komunikasi adalah serangkaian proses untuk mendapatkan informasi mengenai
faktor lingkungan serta psikologis yang dapat menghambat atau menunjang sikap
manusia.
Manfaat
memahami psikologi komunikasi ini banyak sekali, diantaranya membuat pesan
(informasi) jauh lebih akurat, mengurangi kesalahan dalam persepsi, membantu
pembicara (komunikator) memahami lawan bicaranya (komunikan), dan mengurangi
hambatan yang mungkin terjadi.
Pagi
ini saya berhadapan dengan seseorang yang melewatkan faktor lingkungan dan
psikologi ketika menyampaikan pesan di Whatapp
Story. Sebenarnya dia bukan orang yang rajin update status. Sesekali saja statusnya muncul dan itu biasanya
sesuatu yang sangat besar terjadi pada hidupnya. Sesuatu yang merupakan bagian
dari goal hidup atau achievement yang ingin dicapai orang
lain juga.
Tiga
terakhir statusnya yang saya lihat benar-benar berkaitan dengan sesuatu yang
diperjuangkan oleh banyak orang. Pertama, tentang kelulusannya menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS), memberikan uang kepada orangtuanya tanpa diminta,
dan seragam kerja yang dia jahit sendiri. Setiap kali dia meng-update status, setiap kali pula saya
membalas dengan ungkapan positif. Dari balasan ini pulalah bermula komunikasi
tingkat lanjut berupa obrolan antar tetangga, tetapi kami tidak menggosipkan
orang lain. Hanya bercerita tentang diri sendiri saja atau kesibukan kami
belakangan.
Sama
seperti pagi ini, sambil menyuapi anak makan saya juga membalas statusnya. Statusnya
kali ini mengandung sedikit kadar julid. Dia bercerita kalau sebelum bekerja
kerap mengantar suaminya yang seorang dosen untuk absen ke kampus pagi-pagi.
Dia pikir kesibukan itu tidak berlaku lagi setelah bekerja, ternyata setelah
bekerja pun rutinitas menemani suami untuk absen masih berjalan. Lantas dia
mengomentari para pekerja yang kerap mengepos status seolah dunia tanpa koma
ketika mereka seorang perempuan pekerja.
Dia
menyisipkan komentar yang menilai bahwa mereka terlalu lebay dengan
status-status mereka tentang dunia kerja, “nggak
hectic-hectic kali kayak dibilang orang. Ntah, ya.. Mungkin nggak berlaku untuk
aku aja”. Begitu yang dia tulis di akhir status yang cukup panjang.
Kesalahan
saya adalah mengomentari dengan mengatakan, “mungkin
belum kali, ya. Kalau aku sangat puyeng dengan semua keriwuhan setiap hari.
Belum lagi antara anak dan absen kejar-kejaran. Syukur kalau absen pagi
terselamatkan. Kalau tidak ya sudah. Mungkin juga aku tidak pas memanajemen
waktu.”
Balasan
itu kemudian menjadi panjang. Mulai dari kalimat-kalimat yang menegaskan bahwa
bekerja itu bukan sesuatu yang wow bagi dia. Jadi tidak perlu membesar-besarkan
dengan kata-kata seolah hanya orang bekerja yang keren. Dia masih bisa
melakukan sesuatu yang dia sukai dan sempat bersantai seperti belum bekerja.
Pembahasan
mulai naik menjadi lebih hangat saat dia mengatakan bahwa suaminya membatasi
dia kumpul-kumpul untuk ghibah. Kepoin status orang bukan caranya dia untuk
bersilaturahmi, dia pun tidak butuh bersilaturahmi dengan orang-orang toxic yang mencari perhatian di media
sosial.
Berdasarkan
hasil penelitian saya tentang psikologi komunikasi di status Whatapp, lantas
saja menguraikan tiga alasan orang update
status selain untuk mencari perhatian. Salah satunya untuk mengabarkan
kalau nomornya masih aktif. Dia membalas dengan kata, “nggak penting juga harus
update status. Kalau aku nggak akan lihat
juga. Alhamdulillah punya suami yang tidak hanya membekali ilmu agama, tapi
juga membatasi dari hal-hal yang ikut campur urusan orang.”
Speechless!
Saya
kan sedang berbicara soal tujuan orang update
status. Kenapa sudah membahas suami yang paham ilmu agama? Secara
psikologi, saya sedikit terpojok karena rajin update status. Apakah suami saya tidak ada ilmu agama karena tidak
melarang saya update status. Selama
ini suami sangat menegur keras jika saya membagikan hal-hal bersifat pribadi di
media sosial. Terutama jika itu berkaitan dengan anak, prestasi, dan pencapaian
di bidang finansial.
![]() |
[Photo: Pexels/Anton] |
Intinya
bukan perkara suami shalih, sih. Ini perkara psikologi komunikasi, sepertinya
si kawan gagal paham tujuan berkomunikasi itu apa. Saya tidak memperpanjang
lagi karena saya menebak-nebak, mungkin dia sedang menyindir seseorang. Mungkin
dia ada masalah pribadi perkara kerja. Selalu ada sederet kemungkinan lain yang
berkaitan dengan psikologi dia sehingga membutuhkan pelampiasan dengan update status.
Ketika
dia menuliskan status sebelumnya dia sudah melanggar apa yang barusan
disampaikannya. Dia belum selesai dengan dirinya sendiri. Dia sedang merasakan
kebahagiaan menjadi wanita pekerja, sehingga psikologi dia membutuhkan asupan
bernama semangat dari orang lain. Bisa jadi komunikasinya dengan orang-orang di
sekitar juga sudah berkurang. Jadi, apa yang dia lakukan juga bentuk membuka
komunikasi di media sosial.
0 Komentar