Dosen Fleksibel Atau Kabel?

[Photo: Pexels]

“Kak, enak banget ya jadi dosen. Waktunya fleksibel. Ke kampus Cuma pas jam mengajar saja. Liburnya juga lama. Mau ngapa-ngapain juga enak,” begitu komentar beberapa teman saya setiap menyebutkan kesibukan saya lima tahun terakhir.

Ya, dulunya saya juga berpikir begitu. Apalagi selama dua tahun pertama saya juga mengajar paruh waktu sebagai dosen luar biasa. Kebetulan saya mendapat jam mengajar hampir 24 SKS dalam satu semester, honor saya juga banyak karena perhitungannya per-SKS. Saya bisa mengerjakan hal lain seperti menulis konten untuk menambah cuan di rekening. Hobi juga berjalan dengan mulus tanpa kendala apapun. Hidup begitu tenang.

Itu dulu. Sebelum saya tercatat sebagai dosen tetap dengan tekanan lebih berat. Para dosen tetap terikat dengan Tridarma Perguruan Tinggi dan berbagai kegiatan tambahan yang tidak mungkin diabaikan. Terutama jika itu berkaitan dengan mahasiswa dan akreditasi. Wah, kepala rasanya seperti mengangkat satu truk kelapa sawit.

Secara umum, tugas dosen itu beragam. Selain melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi, banyak juga dosen harus terlibat dalam berbagai kepanitiaan dan kepengurusan. SK menumpuk dan kuliah kejar-kejaran dengan tanggal merah. Apalagi ada MK yang harus bentrok dengan tanggal merah yang selalu bertepatan di hari tertentu. Begh, stres tingkat tinggi pasti terjadi.

Ada, sih, dosen kupu-kupu. Kuliah Pulang, Kuliah Pulang. Datang ke kampus Cuma untuk mengajar, lalu pulang. Namun pasti kelabakan saat menyelesaikan laporan pada akhir semester atau kenaikan jabatan fungsional (jabfung). Namun ini kembali ke personal dosennya masing-masing. Kalau dikatakan dosen itu waktunya fleksibel, tentu tyduck! Karena sampai detik ini jadwal mengajar harus disesuaikan dengan ketersediaan kelas, tingkat kesulitan dan tekanan mata kuliah, dan jadwal dosen lain agar tidak bentrok.

Mungkin orang-orang melihat banyak dosen yang ke kampus hanya untuk mengajar, lalu pulang. Meskipun di rumah, tapi pekerjaan menumpuk. Semua kerjaan ada di rumah. Sebagian dosen malah membuat ruang kerja sendiri di rumah. minimal pojok kerja lah. Dimana ada satu meja lipat yang bisa ditenteng sampai ke dapur, laptop dengan colokan stand by,  tumpukan buku referensi, tugas mahasiswa yang siap diperiksa, hotspot yang selalu aktif kalau tidak pasang wifi, dan bantal yang menyangga punggung agar tidak terlalu kaku. Akan tetapi bukan berarti di rumah itu para dosen sempat berleha-leha juga.

Kehidupan dosen di Indonesia tidak seperti dosen di luar negeri. Bisa santai dalam mengajar karena mahasiswanya lebih aktif mencari, praktek, dan tingkat literasinya juga tinggi. Tunjangan besar dan lancar. Akhir tahun bisa ke luar negeri buat ikut konferensi dengan dana dari anggaran kampus. Yach, tidak semua kampus di luar negeri begitu. banyak juga yang lebih menyedihkan dari kampus-kampus kecil daerah di Indonesia. Setidaknya begitulah gambaran di kampus besar dan negara yang lebih maju.

Circle kehidupan dosen berputar di situ-situ saja. Sepanjang semester, sepanjang tahun, dan seumur menjadi dosen. Banyak hal yang harus dilakukan dan itu-itu saja. Bagi orang awam dinilai produktif, bagi sesama dosen belum tergolong produktif karena belum melakukan hal-hal lain di luar kebiasaan.

Urus Administrasi

So far, masih banyak dosen yang harus mengurus administrasi sendiri. Padahal sistem susah sangat canggih. Kalau ada data yang dibutuhkan bisa tinggal klik. Namun di Indonesia dosen masih harus mengurus administrasi sendiri. Seperti yang kita sadari bersama, urusan administrasi adalah urusan paling rempong sejagat birokrasi.

Selesaikan Penelitian

Penelitian yang dimaksud di sini bukan sekedar turun ke lapangan, wawancara orang-orang, kemudian menulis. Oh, Tyduck, Ferguzo! Penelitian ini harus mencapai ke tahap pengakuan yaitu publikasi di jenjang tertentu. Untuk sementara ini jenjang tertinggi dari publikasi adalah Scopus. Tiap mengingat kata SCO-PUS saya langsung terbayangkan pada gurita yang melekatkan tentakelnya dengan berbagai jenis tekanan. Untuk menyelesaikan penelitian juga banyak drama yang dilalui. Drama kehidupan saja sudah riweuh, ditambah dengan drama akademik. Begh, rasanya syedhap manthap!

[Photo: Pixels]


Bimbingan Mahasiswa

Ini pekerjaan yang sangat mengguncang emosi. Ada mahasiswa yang terlalu pintar, ada yang sangat lemah. Biasanya yang terlalu pintar terlalu merasa dirinya mampu menyelesaikan semuanya sendiri tanpa bantuan pembimbing. Lebih parahnya tidak mau lagi dimbimbing dan merasa hasil karyanya sudah wow banget. Sedangkan yang lemah kebalikannya. Pengennya ketemuan terus kayak orang baru jadian, tapi hasilnya begitu-begitu saja. Tidak ada perubahan yang terlalu memukau. Ada satu dua yang mengikhlaskan diri untuk dibimbing dan menyerahkan segenap jiwa raga untuk hasil maksimal. Namun ini sangat jarang. Pekerjaan membimbing mahasiswa adalah pekerjaan yang sangat menguji kognisi dan emosi.

SKP, BKD

Ini nih yang membuat saya pusing di awal-awal. Istilah dalam bentuk singkatan yang tidak saya pahami apa dan bagaimana mengerjakannya. Jadi, dosen itu punya laporan administrasi yang harus dilaporkan tiap tahun dan semester berdasarkan kinerjanya. Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dibuat setahun sekali di awal tahun. kita kerap dipusingkan dengan angka yang terkadang kebanyakan, terkadang terlalu menurun. Padahal untuk SKP itu angkanya harus naik walau Cuma nol koma sekian. Tidak boleh banyak sampai beberapa poin. Kemudin setiap semester kita juga dibebankan dengan Beban Kerja Dosen (BKD). Jadi, saat mahasiswa sudah bisa update status nulis ‘healing biar nggak apa kali’ sementara dosen sudah diteror dengan laporan BKD.

Mengajar, Koreksi

Banyak mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah dengan asal-asalan dengan alasan dosennya nggak sempat baca. Hello, tugas dosen adalah mengajar dan memeriksa semua tugas mahasiswa. Jadi mau tidak mau memang sudah pasti ini dilakukan.

Photo: Pexels]


Publikasi Ilmiah

Aturannya setiap semester harus ada satu publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal. Sayangnya tidak semua mahasiswa mau bekerja sama untuk melakukan publikasi. Sehingga dosennya ngos-ngosan juga mengonversi skripsi mahasiswa menjadi jurnal untuk dipublikasikan. Karena kolaborasi mahasiswa dan dosen dalam publikasi ilmiah sekarang sangat menentukan akreditasi. Belum lagi drama publikasi yang terindeks SINTA dan SCOPUS.

Setiap semester, dosen menghadapi lingkaran drama dan urusan yang sama. Drama dosen juga berbagai macam. Mulai drama naik jabfung, drama serdos, BKD, publikasi, hibah penelitian, dan drama pribadi yang kadang-kadang berimbas pada lingkaran tugas dosen yang semakin lama semakin besar.

Kalau dibilang waktu bekerja dosen fleksibel, saya malah beranggapan kalau waktunya seperti kabel. Untuk mengaktifkan kabel itu harus disambungkan dengan lampu atau benda elektronik lainnya. Kalau dibiarkan bisa nyetrum diri sendiri. Menurutmu bagaimana, masih fleksibel kah?

Posting Komentar

0 Komentar