Awal kelahiran adik F, saya mendapat kabar bahagia. Cerita pendek yang saya ikut sertakan dalam sebuah lomba menulis cerpen mendapat juara enam alias harapan tiga. Katanya, lomba cerpen di Tulis. Me lumayan susah ditembus. Selain bergenre sastra, dewan jurinya juga tidak main-main. Mulai dari Faisal Oddang yang pernah menjuarai Sayembara Menulis Novel DKJ sampai bukunya yang sangat menarik minat pasar sastra.
Saya
bukan tipikal yang ambisius dalam melakukan sesuatu. Termasuk kelompok yang
tidak begitu oke. Katanya, sih, begitu. Setiap ada lomba yang saya ikuti
rata-rata karena saya punya stok. Jika temanya cocok, akan saya daftarkan.
Tidak ada istilah mempelajari karya pemenang sebelumnya, mengintip selera juri,
dan lain-lain. Ikut ya ikut saja, let’s
it flow.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Tidak
ada juga ekspektasi jika karya yang terpilih itu akan menjadi juara. Dua cerpen
yang saya kirimkan, keduanya-duanya mendapatkan peringkat sepuluh besar. Cerpen
berjudul Jarik Penutup Mayat saya
tulis menjelang deadline karena
insomnia menyerang. Waktu itu akan masuk rumah sakit untuk menjelani operasi
secar. Sedangkan yang mendapat peringkat sembilan adalah cerpen yang belum
selesai di laptop. Saya menyelesaikan cerpen berjudul Pencuri Setengah Kebun itu setelah yakin akan ikut lomba kali ini.
Informasi
lomba saya dapat di sbeuah grup, sudah mepet deadline dan sepertinya si pengirim memang sengaja melakukan itu.
Saya mengirim kedua cerpen hari terakhir. Tidak ada ekspektasi, hanya selembar
sertifikat untuk dilampirkan di Laporan Beban Kerja Dosen (LKBD) saja yang menjadi
harapan. Tidak disangka, setelah keluar dari rumah sakit saya dihibur dengan
kabar gembira itu.
Lalu
orang-orang bilang apa? Mereka kerap menghubung-hubungkan antara berkah
kemenangan ini dengan kelahiran adik F. Katanya itu rezeki adik F yang bagus.
Anak pembawa berkah dan rezeki untuk orangtuanya, terutama bagi saya sebagai
umminya.
Padahal
ini serta merta bukan terjadi dengan duduk manis di rumah. sebelumnya ada usaha
yang sudah dilakukan. Sederhananya, kalau naskah itu tidak saya kirimkan tentu
saja tidak akan terjadi apa-apa. Kebetulan deadline-nya
juga bertepatan dengan kelahiran adik F.
Orang-orang
tidak tahu bagaimana saya lebih produktif ketika mengandung abang A.
Keberuntungan yang sama juga terjadi saat Abang A lahir. Saya baru keluar dari
rumah sakit, kemudian suami membawa satu paket buku yang merupakan hadiah dari
lomba. Bahkan beberapa karya saya dibukukan di awal kelahiran Abang A. Begitu
juga dengan Adik F.
Setiap
anak terlahir istimewa, dia membawa keberkahan dan keberuntungannya sendiri.
Semuanya kembali ke usaha manusia dalam menggapainya. Tentu saja, apakah itu
bertepatan ketika hamil Abang A atau Adik F. Kedua anak ini saya lewati dengan
perjuangan dan tantangan tersendiri. Bukan Abang A atau Adik F yang sengaja
menghadirkan dewi fortuna ke dalam kehidupan saya. Mereka adalah seindah-indah
berkah yang saya dapatkan. Anugerah terindah yang saya miliki, kalau kata
Sheila On 7 dalam salah satu lagunya.
Di
luar sana mungkin kita sering mendengar orang tua berkomentar anak B pembawa
sial, anak C lambang keberuntungan, anak D begini, dan seterusnya. Setiap anak
itu istimewa, tidak perlu melabeli dan mengotakkan mereka dengan cara begitu.
Pelakapan itu justru membuat para anak tumbuh dengan konsep yang dibawanya
sejak kecil.
Jangan
heran ketika anak yang dianggap selalu beruntung itu akan tumbuh sebagai anak
yang sukses ketika besar. Itu karena dari kecil dia sudah ditanamkan
kepercayaan diri dan konsep diri yang positif juga. Sebaliknya, anak yang
dianggap gagal sedikit sekali yang bisa melawan lakap tersebut. Satu dua yang
berhasil pun karena dia berani keluar dari zona buruk yang terlanjur ditanam
dan bertemu dengan orang-orang yang tepat.
0 Komentar