Ingat! Etika di Atas Ilmu

Etika di atas ilmu pengetahuan. Anda yang seorang pengajar tentu menyetujui kalimat ini, bukan?! Sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman dan pemanfaatan teknologi pun, etika tergerus juga oleh kecanggihan yang dijanjikan oleh segala kebanggaan manusia.

Di awal saya menjadi tenaga pengajar, saya juga mengeluh dengan kelakuan alias akhlak peserta didik. Masih SD, tapi kok nakal. Lantas para guru di sekolah itu mengtakan jika anak kelas ini memang nakal. Anak kelas it juga nakal. Kemudian ketika saya mengajar di MTsS di sebuah kabupaten perbatasan. Tingkat kenakalan dan polah mereka luar biasa membuat para tenaga pengajar sakit kepala. Guru di sana haruslah bertahan dengan mata garang dan rotan belah tujuh dalam genggaman untuk menjinakkan para anak didik.

Di sini saya mulai menarik nafas dan beristigfar. Tak jarang ketika berbagi kisah dengan sesama pendidik dan non pendidik, komen negatif juga terlayangkan untuk mereka. Lakap 'anak tidak sah' atau 'hasil makan uang haram' selalu menjadi buah bibir tak elok untuk didengar dan diucapkan.

Ketika saya mengajar di Beijing, saya menemukan sensasi luar biasa. Bertemu dengan mahasiswa yang amat menghormati laoshi (guru atau dosen) dengan penuh hormat dan harga adalah anugerah yang amat saya rindukan sampai kini. Ya, bagi mereka posisi pendidik seperti posisi dewa. Meskipun tidak semua posisi guru seperti teman. Saya menemukan seseuatu yang tidak saya temukan ketika mengajar di kapung sendiri.

Kembali ke almamater dan bertemu dengan mahasiswa dari kebudayaan yang hampir sama justru menuntut saya menjadi seseorang yang wajib tahan banting. Seorang dosen terkadang bukan saja menjadi pendidik, seseorang yang mentransfer pengetahuan. Dia juga harus menjadi tameng untuk semua masalah mahasiswa dengan dosen lainnya, menjadi sahabat, sekaligus tong sampah sumpah serapah. Era luar biasa yang saya hadapi dua tahun belakangan.

Terutama terkait soal nilai. Setiap semester saya mendapat pesan WA untuk nilai. Ya, mereka meminta negosiasi nilai yang saya anggap sudah sangat bagus. Tuntutan mereka A, bukan angka lainnya. Saya maklumi sekali jika mereka meminta nilai A jika dia sadar bahwa semua tugas dan kemampuan akademik mereka memang di atas rata-rata. Tapi mereka yang berani berkoar-koar atas nama Whatapps hanyalah mereka yang memiliki ambisi dan menganggap remeh orang di depan mereka.

Sungguh apes nasib mereka yang tidak paham artinya etika di atas ilmu.

Saya terkaget-kaget membaca pesan yang dikirimkan kepada saya. Harusnya pesan yang dituliskan tidak berbunyi seperti itu. Tidak boleh!

Sayangnya itu terjadi. Umumnya, isi pesan 



[Photo: Cottonbro | Pexels]

Posting Komentar

0 Komentar