Dunia Kerja Penuh Trik dan Siasat Tipis-Tipis

Warning!

Jangan terprovokasi dengan judul. Yes, jangan! Bisa saja ini hanya judul yang saya berikan untuk menarik perhatian Anda selaku pembaca yang budiman. Intinya saya aru terprovokasi oleh seseorang yang menulis tentang dunia kerjanya di blog. Sebenarnya saya tidak berani terlalu blak-blakan menulis soal beginian di ruang publik. Kita sudah paham benar bagaimana kerasnya dunia kerja soal sikut menyikut dan tendang menendang.

Kali ini saya ingin berkomentar tentang pekerjaan ASN zaman now dan zaman old. Okelah, jika ini terjadi dengan orang yang saya hadapi dari generasi baby boomer, mereka yang tidak begitu mengerti bagaimana kinerja generasi milenial yang kebanyakan memang kreatif dan aktif. Termasuk di dunia dosen yang notabene dipandang adem ayem dari luar sana.

Iya, adem ayem. Saya pun berpikir begitu. Makanya dulu sebelum saya memutuskan menjadi dosen tetap melalui jalur PNS saya sudah membuat rancangan apa yang akan saya selesaikan  ke depan. Semacam resolusi, tapi tidak ada jangka waktu yang terlalu gimana.

Dunia Kerja tidak seindah yang dibayangkan.
[Photo: Pexels]


Menulis buku.

Ya, sebenarnya inilah cita-cita saya yang abadi sejak saya mengenal aksara. Apapun pekerjaan saya, nantinya saya ingin hidup damai abadi dengan menulis. Tidak banyak konflik dengan manusia. Palingan kalau sedikit kritis saya akan mendapat gencatan senjata dari para oposisi. Sepertinya George Junus Aditdjondro yang menulis Membongkar Gurita Cikeas misalnya. Namun saya yakin tidak akan berani bertindak seberani dan sejauh itu. Bagaimana pun saya masih seseorang yang lemah hatinya, tidak ada keberanian berbuat lebih jauh dari olahan tulisan saya. Meskipun ada juga yang mengatakan terlalu sadis dan berani.

Masa, sih?! Buktinya kamu hanya membaca artikel ini tanpa niat meninggalkan komentar.

Ini cerita antar generasi. Bisa dikatakan persaingan antar generasi dan cara mereka berhadapan dengan birokrasi. Ada manusia bekerja dengan sistem yang kaku. Bukan mengandalkan kreativitas, tapi mengandalkan selembar surat bernama Surat Keputusan (SK), Surat Tugas (ST), Sertifikat, Piagam Penghargaan, dan sejenisnya. Kenyataan di luar sana, pekerjaan kreatif tidak bermain dengan remeh temeh seperti ini. Pekerjaan kreatif mengandalkan pelakunya untuk fokus pada karya. Jadi, tidak heran jika ditanya, "Apa ada SKnya?" Mereka yang tidak mengerti cara kuno akan bingung dan sudah muak dengan sistem begini hanya tersenyum sinis.

Gitu, ya?!

Iya. Soalnya apa yang dilakukan tidak berorientasi pada pangkat dan jabatan dengan cara sikut menyikut. Para pekerja kreatif terus berinovasi dengan cara mengekplor ide-ide cemerlang untuk ditunjukkan pada dunia. Kompetisi yang terjadi di dunia ini juga tidak model sikut menyikut seperti kebanyakan orang pikirkan. Dekati bos, jilat sana sini, dapat posisi. Cara yang eumh... mungkin terlalu mainstream  dan menjijikkan. kenyataannya begini. Tidak bisa dimunafikan.

Saya pernah mendapat caci maki atasan hanya karena tidak membawa bukti surat menyurat itu untuk ditunjukkan pada atasan. Keperluannya sederhana, untuk mendongkrak akreditasi prodi. Padahal dari jumlah artikel yang saya hasilkan saja sudah sangat perjuangan. Bayangkan, tidak semuanya dosen menulis artikel dan mempublikasikan di media.

Tidak semua.

Pasalnya, atasan saya dengan mudah mengatakan apa yang saya kerjakan itu tidak ada kontribusi apapun untuk instansi. Atasan saya sampai mengeluarkan kalimat, "Kamu makan gaji di sini. Kerja untuk orang lain! Apa kamu pikir kami ini?!"

Speechless.

Beliau menyebut apa? Makan gaji dan kerja untuk orang lain. Kalau saya perlurus, saya tidak makan gaji buta. Setiap semester, atas kebijakan atasan pula saya harus mengajar sebanyak 12 SKS. Tidak ada dispensasi pengurangan sekalipun saya termasuk tim pengelola jurnal program studi, tim redaksi buletin humas, dan sederet tugas penting lain yang berdampak pada pengembangan instansi 20 tahun mendatang. Kemungkinan besar, ketika kampus tersebut, saya tidak lagi bisa menikmati apa yang saya ikut kontribusikan bersama teman-teman sekarang.

Trik dan siasat?

Tentu ada. Apa yang dipaksakan kepada saya ataupun pekerja lain sebenarnya untuk mendongkrak popularitas pribadi. Selain untuk memudahkan promosi jabatan. Memang tidak masalah dan itu hak mereka yang hidupnya fokus pada jenjang karir dan jabatan. Namuun, secara etika sikap demikian buat sikap yang mulia, kan?

Untuk menghadapi manusia jenis ini kita tetap berada di jalan sendiri. Jangan keluar dari running track karir. Toh, jika kita terpengaruh akan berakhir kaku juga. Cepat atau lambat, kita akan medapat lover  dan hater. Hidup ini jika bukan dibenci, ya, disukai.

Posting Komentar

0 Komentar